Masjid Tua Tosora merupakan saksi bisu perkembangan Islam di tanah Wajo, Sulawesi Selatan. Dibangun pada tahun 1621 atas perintah Arung Matowa Wajo XV La Pakallongi To Allinrungi yang memerintah pada periode 1621-1626, masjid ini menjadi masjid raya pertama yang didirikan di wilayah Kerajaan Wajo [1][2].
Pembangunan Masjid Tua Tosora menandai babak penting dalam
sejarah Islamiasi di Kerajaan Wajo. Meskipun Islam telah masuk ke wilayah ini
beberapa tahun sebelumnya, dengan La Sangkuru Patau' Mulajaji (Arung Matowa
XII, 1607-1610) tercatat sebagai penguasa Wajo pertama yang memeluk Islam,
pembangunan masjid ini menjadi simbol konkret penerimaan dan penyebaran agama
Islam di kalangan elit kerajaan dan masyarakat Wajo secara lebih luas [1][5].
Peresmian Masjid Tua Tosora menjadi peristiwa yang istimewa,
ditandai dengan kehadiran para pemimpin kerajaan tetangga. Tercatat bahwa Raja
Gowa Sultan Alauddin, Raja Bone La Tenripale, dan Datu' Soppeng We Adang turut
hadir dalam acara peresmian tersebut. Kehadiran para pemimpin ini menunjukkan
pentingnya pembangunan masjid ini dalam konteks politik dan keagamaan di
Sulawesi Selatan pada masa itu [1][5].
Tosora sendiri memiliki peran penting dalam sejarah Kerajaan
Wajo. Diyakini sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Wajo pada masa lampau,
Tosora menjadi lokasi strategis bagi perkembangan Islam di wilayah tersebut [3].
Sebelum menjadi pusat pemerintahan, Tosora diperkirakan telah menjadi bandar
dagang yang ramai sejak sekitar tahun 1396-1399, masih di bawah kekuasaan
Kerajaan Cinnongtabi' [6].
Keberadaan Masjid Tua Tosora juga terkait erat dengan
kedatangan Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, yang diyakini sebagai cucu
ke-19 Nabi Muhammad SAW. Beliau tiba di Tosora sekitar tahun 1320, yang
dianggap sebagai awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Makam Syeikh
Jamaluddin berada di kompleks Masjid Tua Tosora, menambah nilai spiritual dan
historis dari situs ini [2][6].
Meskipun kini hanya tersisa puing-puingnya, Masjid Tua
Tosora tetap menjadi bukti penting dari kejayaan Islam di tanah Wajo dan simbol
penting dalam narasi sejarah dan identitas masyarakat Wajo. Situs ini tidak
hanya mencerminkan perkembangan agama Islam, tetapi juga menjadi saksi
transformasi sosial dan budaya masyarakat Wajo yang secara bertahap mengadopsi
nilai-nilai dan praktik Islam ke dalam kehidupan sehari-hari mereka [1][5].
Masjid ini awalnya memiliki struktur yang utuh dan megah,
namun sebagian besar bangunannya runtuh akibat serangan penjajah. Saat ini,
yang tersisa dari masjid bersejarah ini hanyalah mihrab (dinding kiblat) dan
beberapa makam di sekitarnya [8][9]. Meskipun demikian, sisa-sisa bangunan ini
masih menyimpan jejak keagungan arsitektur masa lalu.
Salah satu keunikan Masjid Tua Tosora terletak pada teknik
konstruksinya. Dinding masjid terbuat dari batu alam yang disusun dan
direkatkan menggunakan putih telur [8]. Penggunaan putih telur sebagai perekat
merupakan teknik kuno yang menunjukkan keahlian dan kreativitas para
pembangunnya pada masa itu.
Dari segi ukuran, masjid ini memiliki denah berbentuk bujur
sangkar dengan dimensi yang cukup besar. Ukuran dasarnya adalah 18,20 x 15,90
meter, dengan tinggi tembok mencapai 3,70 meter dan ketebalan tembok 53 cm [8][9].
Dimensi ini menunjukkan bahwa masjid ini dirancang untuk menampung jumlah
jamaah yang cukup besar, sesuai dengan fungsinya sebagai masjid raya pertama di
Kerajaan Wajo.
Lokasi Masjid Tua Tosora juga memiliki signifikansi
tersendiri. Masjid ini dibangun di atas tanah berbukit dengan ketinggian 30,6
meter di atas permukaan laut [9]. Pemilihan lokasi yang tinggi ini mungkin
memiliki makna simbolis sekaligus praktis, memberikan visibilitas yang baik dan
mungkin juga berperan dalam pertahanan.
Meskipun kondisi fisiknya kini jauh dari bentuk aslinya,
Masjid Tua Tosora tetap menjadi situs penting yang menarik minat banyak
pengunjung. Pemerintah setempat telah melakukan upaya pelestarian dengan
membangun atap pelindung di atas reruntuhan masjid [3]. Langkah ini bertujuan
untuk melindungi sisa-sisa bangunan dari kerusakan lebih lanjut akibat cuaca
dan faktor lingkungan lainnya.
Selain mihrab dan dinding yang tersisa, kompleks Masjid Tua
Tosora juga mencakup beberapa makam bersejarah. Salah satu yang paling
signifikan adalah makam Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, yang diyakini
sebagai cucu ke-19 Nabi Muhammad SAW [3]. Keberadaan makam ini menambah nilai
spiritual dan historis dari situs Masjid Tua Tosora.
Meskipun telah mengalami kerusakan yang signifikan,
arsitektur dan kondisi fisik Masjid Tua Tosora tetap menjadi bukti penting dari
sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Sisa-sisa bangunan ini terus menarik
perhatian peneliti, sejarawan, dan wisatawan yang ingin mempelajari dan
menghargai warisan budaya dan spiritual yang kaya dari wilayah ini.
Kompleks Masjid Tua Tosora di Kabupaten Wajo, Sulawesi
Selatan, telah berkembang menjadi destinasi wisata religi yang semakin populer
dan ramai dikunjungi. Daya tarik utama kompleks ini tidak hanya terletak pada
nilai sejarahnya yang tinggi, tetapi juga pada berbagai elemen spiritual dan
budaya yang memperkaya pengalaman pengunjung.
Salah satu magnet utama kompleks ini adalah keberadaan makam
tokoh penting, yaitu Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, yang diyakini
sebagai cucu ke-19 Nabi Muhammad SAW. Makam ini menjadi pusat ziarah bagi
banyak peziarah dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri seperti Malaysia
dan Singapura [10]. Kehadiran makam ini menambah dimensi spiritual yang kuat
pada kompleks Masjid Tua Tosora, menjadikannya tempat yang signifikan bagi umat
Islam untuk mencari berkah dan melakukan refleksi spiritual.
Selain nilai religiusnya, kompleks ini juga menawarkan daya
tarik unik berupa mata air yang diyakini memiliki khasiat kesehatan. Klaim ini
bukan sekadar kepercayaan lokal, tetapi telah mendapat dukungan ilmiah melalui
penelitian laboratorium dari Universitas Hasanuddin Makassar [2][14].
Keberadaan mata air ini menambah daya tarik kompleks sebagai destinasi yang
tidak hanya menawarkan pengalaman spiritual, tetapi juga potensi manfaat
kesehatan bagi pengunjungnya.
Untuk memperkaya pengalaman wisatawan dan melestarikan
warisan budaya lokal, Pemerintah Desa Tosora telah menetapkan sebuah acara
tahunan yang disebut Pekan Budaya Wanua Tosora. Event ini diselenggarakan
setiap tahun pada tanggal 22-27 September [10]. Pekan Budaya ini menjadi ajang
untuk memamerkan kekayaan budaya dan tradisi Wajo, sekaligus menjadi magnet
untuk menarik lebih banyak pengunjung ke kompleks Masjid Tua Tosora.
Selain Pekan Budaya, pemerintah desa juga mengadakan
kegiatan tahunan berupa Maulid & Haul Sayyid Jamaluddin Akbar Husein yang
jatuh pada minggu terakhir bulan Rabiul Awal setiap tahunnya [10]. Acara ini
semakin memperkuat posisi kompleks Masjid Tua Tosora sebagai pusat kegiatan
religi dan budaya di wilayah tersebut.
Daya tarik wisata religi kompleks Masjid Tua Tosora tidak
hanya terbatas pada komunitas Muslim. Tempat ini juga menarik minat tokoh-tokoh
lintas agama, seperti yang terlihat dari kunjungan Wakil Ketua Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Sulsel beserta para pengurus lintas agama lainnya [13][14].
Hal ini menunjukkan bahwa kompleks ini telah menjadi simbol toleransi dan
harmoni antar umat beragama di wilayah tersebut.
Pemerintah setempat telah menyadari potensi besar kompleks
ini sebagai destinasi wisata religi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
melestarikan dan mengembangkan situs ini, termasuk pembangunan atap pelindung
untuk melindungi reruntuhan masjid dari kerusakan lebih lanjut [13][14].
Upaya-upaya ini diharapkan dapat semakin meningkatkan daya tarik kompleks
Masjid Tua Tosora sebagai destinasi wisata religi yang penting di Sulawesi
Selatan.
Dengan kombinasi nilai sejarah, spiritual, kesehatan, dan
budaya, kompleks Masjid Tua Tosora terus berkembang sebagai destinasi wisata
religi yang menawarkan pengalaman holistik bagi para pengunjungnya.
Keberadaannya tidak hanya memperkaya lanskap wisata di Kabupaten Wajo, tetapi
juga berperan penting dalam melestarikan warisan budaya dan spiritual
masyarakat setempat.
Pemerintah Kabupaten Wajo telah mengambil langkah signifikan
dalam upaya pelestarian Masjid Tua Tosora dengan mendirikan bangunan pelindung
di atas situs bersejarah ini. Pada awal tahun 2022, Bupati Wajo meresmikan
bangunan pelindung tersebut, yang bertujuan untuk melindungi reruntuhan masjid
dari kerusakan lebih lanjut akibat faktor cuaca dan lingkungan [15]. Langkah
ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam melestarikan warisan budaya
yang memiliki nilai sejarah dan spiritual yang tinggi.
Bangunan pelindung ini dirancang dengan mempertimbangkan
aspek konservasi dan estetika. Struktur ini tidak hanya berfungsi sebagai
pelindung fisik bagi sisa-sisa masjid, tetapi juga dirancang untuk
mempertahankan kesan visual dan atmosfer historis dari situs tersebut. Hal ini
penting untuk memastikan bahwa pengunjung masih dapat merasakan aura sejarah
dan spiritualitas dari Masjid Tua Tosora.
Selain pembangunan struktur pelindung, Masjid Tua Tosora
telah secara resmi ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Status ini memberikan
perlindungan hukum yang kuat terhadap situs bersejarah ini. Penetapan sebagai
Cagar Budaya mengandung konsekuensi bahwa setiap upaya pengembangan atau
perubahan pada situs harus melalui prosedur yang ketat dan sesuai dengan
peraturan yang berlaku untuk menjaga keaslian dan nilai sejarahnya.
Perlindungan hukum ini juga berarti bahwa pemerintah
memiliki kewajiban untuk mengalokasikan sumber daya untuk pemeliharaan dan
pelestarian situs. Hal ini mencakup tidak hanya pemeliharaan fisik, tetapi juga
upaya-upaya untuk mempromosikan dan mengedukasi masyarakat tentang nilai
penting dari Masjid Tua Tosora.
Upaya pelestarian ini juga sejalan dengan potensi
pengembangan wisata halal di kawasan Kota Tua Tosora [16]. Dengan melestarikan
situs bersejarah ini, pemerintah tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi
juga membuka peluang untuk pengembangan ekonomi melalui sektor pariwisata yang
berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, upaya pelestarian ini juga mencakup
penelitian dan dokumentasi sejarah Masjid Tua Tosora. Kisah tentang
pendiriannya oleh cucu Rasulullah SAW, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini,
menjadi bagian penting dari narasi sejarah yang perlu dilestarikan dan
disampaikan kepada generasi mendatang [2].
Dengan berbagai upaya pelestarian ini, Pemerintah Kabupaten
Wajo menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjaga dan melindungi Masjid Tua
Tosora sebagai aset sejarah dan budaya yang berharga. Langkah-langkah ini tidak
hanya bertujuan untuk mempertahankan struktur fisik masjid, tetapi juga untuk
melestarikan nilai-nilai sejarah, spiritual, dan budaya yang terkandung di
dalamnya, sehingga dapat terus menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran bagi
generasi mendatang.
Keberadaan Masjid Tua Tosora merupakan bukti konkret
masuknya Islam ke wilayah Sulawesi Selatan. Meskipun Islam diperkirakan telah
masuk ke wilayah ini sejak abad ke-13 melalui kedatangan Syeikh Jamaluddin
Al-Akbar Al-Husaini, pembangunan masjid ini menandai era baru dimana Islam
mulai diterima secara luas oleh elit kerajaan dan masyarakat Wajo [1][17].
Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah,
tetapi juga menjadi pusat penyebaran agama Islam dan pembelajaran ilmu-ilmu
keislaman di Kerajaan Wajo. Peresmian Masjid Tua Tosora menjadi peristiwa
penting yang dihadiri oleh para pemimpin kerajaan tetangga, termasuk Raja Gowa
Sultan Alauddin, Raja Bone La Tenripale, dan Datu' Soppeng We Adang. Kehadiran
mereka menunjukkan pentingnya pembangunan masjid ini dalam konteks politik dan
keagamaan di Sulawesi Selatan pada masa itu [1].
Signifikansi Masjid Tua Tosora semakin diperkuat dengan
keberadaan makam Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini di kompleks masjid.
Syeikh Jamaluddin, yang diyakini sebagai cucu ke-19 Nabi Muhammad SAW, memiliki
peran penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kehadirannya di Tosora
sekitar tahun 1320 dianggap sebagai awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan [17][18].
Tosora sendiri, tempat dimana masjid ini berdiri, memiliki
peran strategis dalam sejarah Kerajaan Wajo. Diyakini sebagai pusat
pemerintahan Kerajaan Wajo pada masa lampau, Tosora menjadi lokasi penting bagi
perkembangan Islam dan kebudayaan di wilayah tersebut. Banyaknya bukti
arkeologis seperti Masjid Tua, makam Waliyullah, gudang amunisi, bekas benteng
pertahanan, dan pelabuhan menegaskan peran penting Tosora dalam sejarah
Kerajaan Wajo [17].
Keberadaan Masjid Tua Tosora dan makam Syeikh Jamaluddin
tidak hanya menjadi bukti fisik, tetapi juga simbol spiritual yang kuat bagi
masyarakat Wajo dan Sulawesi Selatan secara umum. Situs ini menjadi pusat
ziarah yang ramai dikunjungi, menarik peziarah tidak hanya dari dalam negeri
tetapi juga dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura [19].
Meskipun kini hanya tersisa puing-puingnya, Masjid Tua
Tosora tetap menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban dan spiritualitas
di Sulawesi Selatan. Upaya pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah setempat,
termasuk pembangunan atap pelindung dan penetapannya sebagai Cagar Budaya,
menunjukkan kesadaran akan pentingnya situs ini bagi identitas dan warisan
budaya masyarakat Wajo [11][19].
Dengan demikian, Masjid Tua Tosora dan kompleksnya tidak
hanya menjadi bukti fisik penyebaran Islam di Sulawesi, tetapi juga menjadi
simbol penting dalam narasi sejarah, spiritualitas, dan identitas masyarakat
Wajo hingga saat ini. Keberadaannya terus menginspirasi dan menjadi sumber
pembelajaran bagi generasi mendatang tentang sejarah Islam dan peradaban di
Sulawesi Selatan.
Referensi:
[1]
https://www.pinisi.co.id/masjid-tua-tosora-saksi-bisu-perkembangan-islam-di-tanah-wajo/
[2]
https://www.liputan6.com/islami/read/5197893/kisah-masjid-tua-tosora-wajo-yang-didirikan-cucu-rasulullah-saw-di-sulsel
[3]
https://harian.fajar.co.id/2023/08/18/tosora-syekh-jamaluddin-dan-peninggalan-masjid-tua-sebuah-selayang-pandang/
[4]
https://walennae.unhas.ac.id/index.php/walennae/article/view/237
[5]
https://sulsel.idntimes.com/life/education/ahmad-hidayat-alsair/masjid-tua-tosora-saksi-bisu-perkembangan-islam-di-tanah-wajo
[6]
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/27236/1/40200118098%20TITA%20IRSANI%20DAMAYANTI.pdf
[7] https://core.ac.uk/download/pdf/25494153.pdf
[8]
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/27236/1/40200118098%20TITA%20IRSANI%20DAMAYANTI.pdf
[9]
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/25179/1/AMHARDIANTI_80100219054.pdf
[10]
https://jadesta.kemenparekraf.go.id/desa/masjid_tua_tosora__makam_assheyck_jamaluddin_akbar_husein__keturunan_rasullullah_ke20
[11]
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/27236/1/40200118098%20TITA%20IRSANI%20DAMAYANTI.pdf
[12]
https://wajokab.go.id/berita/detail/buka-pekan-budaya-di-tosora-amran-ini-harus-terus-dilestarikan
[13]
https://pedoman.media/read/15809/cerita-masjid-tua-tosora-wajo-ada-mata-air-sehat-dikunjungi-tokoh-lintas-agama
[14]
https://makassar.antaranews.com/berita/459627/masjid-tua-tosora-di-majauleng-wajo-ramai-dikunjungi-wisatawan-hingga-tokoh-agama
[15]
https://lintascelebes.com/2022/01/08/peresmian-bangunan-pelindung-masjid-tua-tosora-bupati-wajo-ini-upaya-lindungi-cagar-budaya/
[16] http://repositori.uin-alauddin.ac.id/12543/
[17]
https://katasulsel.com/2024/03/06/jejak-sejarah-masjid-tua-tosora-simbol-keislaman-dan-kebudayaan-di-wajo-sulawesi-selatan/
[18]
https://asadiyahpusat.org/2015/02/10/sejarah-masuknya-islam-di-wajo/
[19]
https://www.beritasatu.com/nusantara/2803530/masjid-tosora-di-wajo-jadi-saksi-perjalanan-keislaman-di-sulawesi-selatan