Rabu, 30 April 2025

Kebudayaan vs Penyimpangan Agama

 

Perbandingan antara kebudayaan dan penyimpangan agama merupakan topik yang kerap muncul dalam diskusi-diskusi sosiologis dan antropologis, terutama di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius tetapi juga memiliki kekayaan budaya lokal yang kompleks. Untuk memahami dinamika antara keduanya, kita perlu membedakan secara jernih pengertian, fungsi, serta wilayah operasional masing-masing.


1. Definisi dan Wilayah Ontologis

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem nilai, norma, pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, adat, serta kebiasaan yang berkembang dalam suatu masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun. Ia mencakup dimensi simbolik dan material yang membentuk identitas suatu kelompok.

Sebaliknya, penyimpangan agama merujuk pada perilaku, ajaran, atau praktik keagamaan yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok suatu agama. Penyimpangan ini bisa muncul dalam bentuk penambahan doktrin yang tak sesuai, manipulasi teks suci, hingga kultus terhadap tokoh tertentu yang melebihi batas doktrin resmi.


2. Fungsi Sosial

Kebudayaan berfungsi sebagai penyangga kohesi sosial, memberi arah dalam kehidupan sehari-hari, dan membentuk cara berpikir serta bertindak masyarakat. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis; ia bersifat dinamis dan adaptif, memungkinkan masyarakat merespons perubahan zaman.

Sementara itu, penyimpangan agama biasanya membawa konflik internal dalam komunitas keagamaan karena dianggap merusak kemurnian ajaran. Ia tidak menciptakan harmoni, melainkan sering kali menjadi sumber pertentangan antara otoritas agama resmi dan kelompok-kelompok sempalan.


3. Hubungan dan Batasan

Di sinilah kompleksitas muncul: banyak unsur budaya lokal yang lahir sebelum masuknya agama formal, sehingga ketika agama datang, terjadi proses akulturasi dan adaptasi. Misalnya, tradisi kenduri, ziarah leluhur, atau simbol-simbol sakral tertentu bisa memiliki akar budaya, namun dalam konteks agama tertentu bisa dianggap menyimpang apabila tidak dilandasi akidah yang benar.

Namun, tidak semua ekspresi budaya yang tampak "tidak normatif" secara otomatis adalah penyimpangan agama. Yang membedakan adalah niat, keyakinan, dan orientasi teologis dari praktik tersebut. Ketika budaya menjadi bagian dari ekspresi keagamaan tanpa bertentangan dengan ajaran pokok (tauhid, kitab suci, dan syariat), maka ia bisa diterima sebagai kearifan lokal yang islami, misalnya.


4. Peran Otoritas dan Konteks

Otoritas agama memiliki peran penting dalam menilai apakah suatu ekspresi merupakan bentuk kebudayaan yang sah atau penyimpangan. Namun, penilaian ini pun harus mempertimbangkan konteks sosiokultural, agar tidak terjadi pemaksaan homogenisasi yang menghapus identitas lokal.

Penyimpangan agama biasanya teridentifikasi melalui tiga kriteria:

  1. Penolakan terhadap pokok ajaran agama;
  2. Pengkultusan terhadap tokoh selain nabi/rasul dengan cara yang menyimpang;
  3. Penafsiran liar terhadap teks-teks suci tanpa dasar metodologis yang sah.

5. Dinamika dan Tantangan Kontemporer

Di era modern, terjadi dua kecenderungan yang kontras:

  • Di satu sisi, terjadi revitalisasi budaya sebagai bentuk kebanggaan identitas lokal.
  • Di sisi lain, muncul kelompok-kelompok keagamaan yang memurnikan ajaran secara rigid dan menolak unsur budaya, bahkan yang sebenarnya tidak bertentangan dengan syariat.

Kedua kecenderungan ini harus didekati secara arif. Upaya dialog antara budaya dan agama menjadi penting agar terjadi saling penguatan, bukan saling penyingkiran.


Kesimpulan

Kebudayaan dan penyimpangan agama bukanlah dua hal yang setara atau otomatis saling bertentangan. Kebudayaan adalah bagian dari ekspresi manusia yang bisa selaras dengan ajaran agama selama tidak menyalahi prinsip dasarnya. Sebaliknya, penyimpangan agama adalah bentuk deformasi terhadap ajaran itu sendiri, dan bukan berasal dari budaya, melainkan dari kesalahan tafsir atau manipulasi ajaran.

Untuk merawat harmoni, pendekatan yang kontekstual dan dialogis menjadi kunci, di mana agama tidak memusuhi budaya, dan budaya tidak melampaui batas yang telah digariskan oleh agama.

Jumat, 11 April 2025

Analisis Penetapan Cagar Budaya Berdasarkan Nilai Sejarah dan Budaya: Studi pada Makam Pahlawan Nasional La Maddukelleng di Wajo

Latar Belakang dan Konteks Historis

Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang kaya akan warisan sejarah, salah satunya Makam La Maddukelleng, Pahlawan Nasional asal Wajo. La Maddukelleng (1700–1765) adalah Arung Matoa Wajo ke-XXXI yang berperan besar dalam memerdekakan Wajo dari dominasi Kerajaan Bone dan Belanda. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 109/TK/1998 memperkuat nilai historis makam ini, yang terletak di Jalan Andi Pangerang Pettarani, Sengkang[1][2].

Kompleks makam tidak hanya menjadi simbol perlawanan anti-kolonial, tetapi juga merefleksikan integrasi budaya Bugis-Kutai-Paser melalui ikatan perkawinan La Maddukelleng dengan bangsawan Kutai. Hal ini terlihat dari keberadaan makam Sultan Kutai XIV, Sultan Adji Muhammad Idris, di lokasi yang sama[3]. Kombinasi nilai sejarah, budaya, dan arsitektur menjadikan situs ini kandidat kuat sebagai cagar budaya.

Nilai Sejarah: Perjuangan dan Diplomasi

1.      Peran La Maddukelleng dalam Pembebasan Wajo
La Maddukelleng dijuluki Petta Pammaradekaingngi Wajo (Sang Pemerdeka) karena keberhasilannya mengusir Belanda dan Bone dari Wajo pada 1737. Ia memimpin pasukan gabungan Wajo, Paser, dan Kutai dalam strategi gerilya laut, yang tercatat dalam Lontaraʼ Sukkuna Wajo
[4][5]. Perjuangannya tidak hanya bersifat militer tetapi juga diplomatik, seperti upayanya membangun aliansi dengan Kesultanan Kutai melalui pernikahan politik.

2.     Keterkaitan dengan Perjanjian Bongaya (1667)
Kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perjanjian Bongaya memicu tekanan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, termasuk Wajo. La Maddukelleng menolak tunduk pada monopoli VOC, yang menjadi pemicu perlawanan bersenjata. Naskah Bugis menyebutkan bahwa ia dianggap sebagai "penghasut perang" oleh Belanda, tetapi di mata rakyat Wajo, ia adalah pahlawan yang memulihkan kemerdekaan
[4][5].

Nilai Budaya: Arsitektur dan Tradisi

1. Arsitektur Makam yang Multikultural

Kompleks makam seluas 12x5 meter menggabungkan elemen arsitektur Bugis, Kutai, dan Belanda:

·        Nisan Batu Gunung: Makam La Maddukelleng menggunakan batu alam besar sebagai nisan, simbol kesederhanaan dan keteguhan[1][2].

·        Nisan Gagang Keris: Makam La Tombong To Massekutta (anak La Maddukelleng) memiliki nisan berbentuk gagang keris, melambangkan status bangsawan dan tradisi persenjataan Bugis[4].

·        Makam Sultan Kutai: Nisan Sultan Adji Muhammad Idris dihiasi ukiran daun berlapis emas, mencerminkan pengaruh estetika Kutai[3].

2. Tradisi Ziarah sebagai Lieu de Mémoire

Makam ini ramai dikunjungi saat Hari Pahlawan dan Lebaran, menunjukkan perannya sebagai situs memori kolektif. Aktivitas ziarah tidak hanya bersifat religius tetapi juga edukatif, di mana masyarakat mendengarkan cerita lisan tentang perjuangan La Maddukelleng[1][6].

Analisis Kriteria Penetapan Cagar Budaya

Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010, kompleks makam memenuhi tiga kriteria utama:

Kriteria

Bukti

Nilai Sejarah

Saksi perlawanan anti-kolonial abad ke-18 dan integrasi politik lintas kerajaan[4][7].

Nilai Budaya

Arsitektur hibrida Bugis-Kutai dan tradisi ziarah yang bertahan[1][3].

Nilai Arsitektur

Desain nisan unik yang merepresentasikan strata sosial dan etnis[2][4].

 

Namun, tantangan utama terletak pada aspek pelestarian:

1.      Kerusakan Fisik: Jalan menuju makam mengalami bergelombang, dan ukiran nisan tererosi akibat cuaca[1][6].

2.     Minim Edukasi: Tidak ada papan informasi tertulis, sehingga pengunjung bergantung pada narasi lisan[6].

3.      Regulasi: Kabupaten Wajo belum memiliki Perda khusus yang mengatur perlindungan cagar budaya[6].

Rekomendasi Strategis

1.      Pemugaran Infrastruktur

o   Perbaikan jalan akses dan pemasangan pelindung nisan dari hujan asam.

o   Digitalisasi dokumen sejarah terkait La Maddukelleng untuk menghindari kepunahan sumber lisan[6][5].

2.     Edukasi Publik

o   Pembuatan papan informasi bilingual (Indonesia-Bugis) di sekitar makam.

o   Kolaborasi dengan sekolah untuk kunjungan studi lapangan[6].

3.      Penguatan Regulasi

o   Percepatan penetapan Perda Cagar Budaya Kabupaten Wajo, mengacu pada UU No. 11/2010[6].

o   Sinergi dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX untuk pendaftaran nasional[6].

Refleksi: Makam sebagai Simbol Identitas

Kompleks makam La Maddukelleng bukan sekadar monumen mati, tetapi living heritage yang merekatkan memori kolektif masyarakat Wajo, Kutai, dan Paser. Pelestariannya memerlukan pendekatan holistik, menggabungkan preservasi fisik, revitalisasi narasi sejarah, dan penguatan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, warisan ini dapat terus menjadi inspirasi bagi generasi mendatang dalam menjaga martabat budaya lokal di tengah globalisasi.

Sumber Acuan:[1][2] Tribun News (2023–2024),[4][5] Wikipedia & P2K Stekom (2025),[6] Berita Sulsel (2024),[7] Repositori Kemdikbud (2020),[3] Kompasiana (2015).

1.      https://makassar.tribunnews.com/2023/01/17/melihat-makam-la-maddukelleng-pahlawan-nasional-asal-wajo-sulawesi-selatan     

2.     https://makassar.tribunnews.com/2024/08/08/video-lebih-dekat-dengan-makam-pahlawan-nasional-asal-wajo-la-maddukelleng   

3.      https://www.kompasiana.com/mahajinoesa/550e6a0d8133118b2cbc63a8/makam-sultan-kutai-ke-14-ada-di-wajo-sulawesi-selatan   

4.     https://id.wikipedia.org/wiki/La_Maddukelleng     

5.      https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/La_Maddukelleng   

6.     https://beritasulsel.com/baca/telusur-dan-penjejakan-sejarah-objek-diduga-cagar-budaya-di-wajo        

7.      https://repositori.kemdikbud.go.id/24751/1/2020_Permutakhiran Data Cagar Budaya Kota Samarinda.pdf