Latar Belakang dan Konteks Historis
Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang
kaya akan warisan sejarah, salah satunya Makam
La Maddukelleng, Pahlawan Nasional asal Wajo. La Maddukelleng (1700–1765)
adalah Arung Matoa Wajo ke-XXXI yang berperan besar dalam memerdekakan Wajo
dari dominasi Kerajaan Bone dan Belanda. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional
melalui Keppres No. 109/TK/1998 memperkuat nilai historis makam ini, yang
terletak di Jalan Andi Pangerang Pettarani, Sengkang[1][2].
Kompleks makam tidak hanya menjadi simbol perlawanan
anti-kolonial, tetapi juga merefleksikan integrasi budaya Bugis-Kutai-Paser
melalui ikatan perkawinan La Maddukelleng dengan bangsawan Kutai. Hal ini
terlihat dari keberadaan makam Sultan
Kutai XIV, Sultan Adji Muhammad Idris, di lokasi yang sama[3]. Kombinasi nilai sejarah, budaya, dan arsitektur menjadikan situs
ini kandidat kuat sebagai cagar budaya.
Nilai Sejarah: Perjuangan dan Diplomasi
1. Peran La
Maddukelleng dalam Pembebasan Wajo
La Maddukelleng dijuluki Petta
Pammaradekaingngi Wajo (Sang Pemerdeka) karena keberhasilannya mengusir
Belanda dan Bone dari Wajo pada 1737. Ia memimpin pasukan gabungan Wajo, Paser,
dan Kutai dalam strategi gerilya laut, yang tercatat dalam Lontaraʼ Sukkuna Wajo[4][5]. Perjuangannya tidak hanya bersifat
militer tetapi juga diplomatik, seperti upayanya membangun aliansi dengan
Kesultanan Kutai melalui pernikahan politik.
2. Keterkaitan
dengan Perjanjian Bongaya (1667)
Kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perjanjian Bongaya memicu tekanan Belanda
terhadap kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, termasuk Wajo. La Maddukelleng
menolak tunduk pada monopoli VOC, yang menjadi pemicu perlawanan bersenjata.
Naskah Bugis menyebutkan bahwa ia dianggap sebagai "penghasut perang"
oleh Belanda, tetapi di mata rakyat Wajo, ia adalah pahlawan yang memulihkan
kemerdekaan[4][5].
Nilai Budaya: Arsitektur dan Tradisi
1. Arsitektur Makam yang Multikultural
Kompleks makam seluas 12x5 meter menggabungkan elemen
arsitektur Bugis, Kutai, dan Belanda:
·
Nisan Batu Gunung: Makam La Maddukelleng menggunakan
batu alam besar sebagai nisan, simbol kesederhanaan dan keteguhan[1][2].
·
Nisan Gagang Keris: Makam La Tombong To Massekutta (anak
La Maddukelleng) memiliki nisan berbentuk gagang keris, melambangkan status
bangsawan dan tradisi persenjataan Bugis[4].
·
Makam Sultan Kutai: Nisan Sultan Adji Muhammad Idris
dihiasi ukiran daun berlapis emas, mencerminkan pengaruh estetika Kutai[3].
2. Tradisi Ziarah sebagai Lieu de Mémoire
Makam ini ramai dikunjungi saat Hari Pahlawan dan Lebaran,
menunjukkan perannya sebagai situs memori
kolektif. Aktivitas ziarah tidak hanya bersifat religius tetapi juga
edukatif, di mana masyarakat mendengarkan cerita lisan tentang perjuangan La
Maddukelleng[1][6].
Analisis Kriteria Penetapan Cagar
Budaya
Berdasarkan UU No. 11
Tahun 2010, kompleks makam memenuhi tiga kriteria utama:
Kriteria |
Bukti |
Nilai
Sejarah |
Saksi perlawanan anti-kolonial abad ke-18 dan integrasi politik
lintas kerajaan[4][7]. |
Nilai
Budaya |
Arsitektur hibrida Bugis-Kutai dan tradisi ziarah yang bertahan[1][3]. |
Nilai
Arsitektur |
Desain nisan unik yang merepresentasikan strata sosial dan etnis[2][4]. |
Namun, tantangan utama terletak pada aspek pelestarian:
1. Kerusakan
Fisik: Jalan menuju makam mengalami
bergelombang, dan ukiran nisan tererosi akibat cuaca[1][6].
2. Minim
Edukasi: Tidak ada papan informasi
tertulis, sehingga pengunjung bergantung pada narasi lisan[6].
3. Regulasi: Kabupaten Wajo belum memiliki Perda
khusus yang mengatur perlindungan cagar budaya[6].
Rekomendasi Strategis
1. Pemugaran
Infrastruktur
o Perbaikan jalan akses dan pemasangan
pelindung nisan dari hujan asam.
o Digitalisasi dokumen sejarah terkait La
Maddukelleng untuk menghindari kepunahan sumber lisan[6][5].
2. Edukasi
Publik
o Pembuatan papan informasi bilingual
(Indonesia-Bugis) di sekitar makam.
o Kolaborasi dengan sekolah untuk
kunjungan studi lapangan[6].
3. Penguatan
Regulasi
o Percepatan penetapan Perda Cagar Budaya
Kabupaten Wajo, mengacu pada UU No. 11/2010[6].
o Sinergi dengan Balai Pelestarian
Kebudayaan Wilayah XIX untuk pendaftaran nasional[6].
Refleksi: Makam sebagai Simbol
Identitas
Kompleks makam La Maddukelleng bukan sekadar monumen mati,
tetapi living heritage yang merekatkan memori kolektif masyarakat Wajo, Kutai,
dan Paser. Pelestariannya memerlukan pendekatan holistik, menggabungkan
preservasi fisik, revitalisasi narasi sejarah, dan penguatan partisipasi
masyarakat. Dengan demikian, warisan ini dapat terus menjadi inspirasi bagi
generasi mendatang dalam menjaga martabat budaya lokal di tengah globalisasi.
Sumber Acuan:[1][2] Tribun News (2023–2024),[4][5] Wikipedia & P2K Stekom (2025),[6] Berita Sulsel (2024),[7] Repositori Kemdikbud (2020),[3] Kompasiana (2015).
1.
https://makassar.tribunnews.com/2023/01/17/melihat-makam-la-maddukelleng-pahlawan-nasional-asal-wajo-sulawesi-selatan
2.
https://makassar.tribunnews.com/2024/08/08/video-lebih-dekat-dengan-makam-pahlawan-nasional-asal-wajo-la-maddukelleng
3.
https://www.kompasiana.com/mahajinoesa/550e6a0d8133118b2cbc63a8/makam-sultan-kutai-ke-14-ada-di-wajo-sulawesi-selatan
4.
https://id.wikipedia.org/wiki/La_Maddukelleng
5.
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/La_Maddukelleng
6.
https://beritasulsel.com/baca/telusur-dan-penjejakan-sejarah-objek-diduga-cagar-budaya-di-wajo
7.
https://repositori.kemdikbud.go.id/24751/1/2020_Permutakhiran
Data Cagar Budaya Kota Samarinda.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar