Senin, 09 Juni 2025

Analisis Strategis Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan: Makam La Tenri Lai To Senggeng Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.

Makam La Tenri Lai To Senggeng, Arung Matoa Wajo ke-23 (1658–1670), merupakan salah satu objek pemajuan kebudayaan yang memerlukan strategi integratif untuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan berkelanjutan. Sebagai situs bersejarah yang merepresentasikan perlawanan anti-kolonial dan kearifan lokal Bugis-Makassar, makam ini memerlukan pendekatan holistik sesuai dengan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2025–2045[1]. Berikut analisis strategis berbasis data lapangan dan regulasi nasional.

Profil Makam La Tenri Lai To Senggeng

Terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, kompleks makam ini mencakup 44 makam bersejarah dengan nisan khas Bugis-Makassar, termasuk nisan berbentuk meriam bekas Perang Tosora (1670)[2]. La Tenri Lai dikenal sebagai pemimpin yang menolak tunduk pada Perjanjian Bongaya (1667) dan gugur mempertahankan kedaulatan Wajo dari Belanda dan sekutunya[3].

Analisis Perlindungan

Dasar Hukum

·        UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya: Makam berusia 355 tahun ini memenuhi kriteria usia, nilai sejarah, dan nilai budaya (Pasal 5)[4].

·        Perda Kabupaten Wajo No. 4/2015: Mengamanatkan pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) untuk menetapkan status perlindungan[5].

Tantangan

1.      Degradasi Fisik: Kerusakan struktur nisan akibat erosi dan aktivitas pertanian di sekitarnya[2].

2.     Minimnya Regulasi Spesifik: Belum ada Perda Kabupaten Wajo yang secara khusus mengatur perlindungan kompleks makam ini[3].

Rekomendasi

·        Pemetaan detail kondisi makam menggunakan teknologi 3D untuk dokumentasi arkeologis[5].

·        Penetapan status cagar budaya tingkat kabupaten melalui kajian TACB[4].

Analisis Pengembangan

Potensi Penguatan Identitas

·        Nilai Kepahlawanan: La Tenri Lai diusulkan sebagai Pahlawan Nasional oleh komunitas sejarah Wajo, merujuk pada perannya dalam Perang Tosora[3].

·        Integrasi Budaya: Kompleks makam merefleksikan hubungan kekerabatan Wajo-Kutai melalui makam Sultan Kutai XIV, Sultan Adji Muhammad Idris[2].

Strategi Pengembangan

1.      Edukasi Multigenerasi:

o   Pengembangan modul sejarah lokal berbasis Lontara Sukkuna Wajo untuk sekolah[5].

o   Pelatigan pemandu wisata budaya bagi pemuda setempat[6].

2.     Infrastruktur Pendukung:

o   Pembangunan jalur pedestrian anti-erosi menuju kompleks makam[2].

o   Instalasi papan informasi bilingual (Indonesia-Bugis) dengan QR code untuk akses literasi digital[1].

Analisis Pemanfaatan

Model Berkelanjutan

Berdasarkan Pasal 86 UU No. 11/2010, pemanfaatan cagar budaya harus memprioritaskan pelestarian nilai budaya. Beberapa model yang dapat diadopsi:

Model

Deskripsi

Contoh

Wisata Sejarah

Paket tur tematik "Jejak Arung Matoa Wajo" bersama situs Geddonge dan Benteng Tosora[6].

Kunjungan edukasi pelajar[6].

Festival Budaya

Pekan Budaya Tosora dengan pertunjukan paduppa (tradisi lisan Bugis)[5].

Pagelaran seni kolaboratif[6].

Penelitian Arkeologi

Kolaborasi dengan universitas untuk studi komparatif nisan Bugis-Kutai[2].

Ekskavasi terbatas[2].

 

Tantangan

·        Keterbatasan Anggaran: Hanya 12% APBD Kabupaten Wajo dialokasikan untuk sektor kebudayaan[3].

·        Minimnya Partisipasi Swasta: Belum ada program CSR yang fokus pada pelestarian cagar budaya di Tosora[1].

Sinergi Stakeholder

1.      Pemerintah Daerah:

o   Mengintegrasikan kompleks makam dalam Rencana Induk Pariwisata Daerah (RIPPDA) Wajo[1].

o   Mengajukan status cagar budaya nasional ke Kemdikbudristek[4].

2.     Komunitas Lokal:

o   Revitalisasi adaʼ mappadendang (tradisi ziarah) sebagai daya tarik wisata religi[3].

3.      Akademisi:

o   Studi tentang pengaruh arsitektur Makassar-Kutai pada kompleks makam[2].

Kesimpulan

Kompleks makam La Tenri Lai To Senggeng bukan hanya monumen sejarah, tetapi juga aset strategis untuk penguatan identitas budaya dan pembangunan berkelanjutan di Wajo. Implementasi RIPK 2025–2045[1] melalui sinergi regulasi, edukasi, dan pemanfaatan kreatif menjadi kunci untuk memastikan pelestariannya. Dengan langkah ini, makam ini dapat menjadi model pengelolaan cagar budaya berbasis kearifan lokal di Indonesia timur.


Referensi

1.      https://www.kompas.id/baca/english/2024/10/14/en-rencana-induk-pemajuan-kebudayaan-menjadi-kerangka-pemanfaatan-potensi-biokultural     

2.     https://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_makam_La_Tenrilai_Tosengngeng       

3.      https://mediabahana.com/2021/11/10/momentum-hari-pahlawan-pemerhati-budaya-wajo-dorong-pemerintah-usulkan-arung-matoa-wajo-ke-23-jadi-pahlawan-nasional/     

4.     https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/volksgeist/article/download/11281/3965/35243   

5.      http://repositori.uin-alauddin.ac.id/25179/1/AMHARDIANTI_80100219054.pdf    

https://www.hipermawakoppnup.org/2020/02/kunjungan-situs-budaya.html