Makam La Tenri Lai To Senggeng, Arung Matoa Wajo ke-23 (1658–1670), merupakan salah satu objek pemajuan kebudayaan yang memerlukan strategi integratif untuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan berkelanjutan. Sebagai situs bersejarah yang merepresentasikan perlawanan anti-kolonial dan kearifan lokal Bugis-Makassar, makam ini memerlukan pendekatan holistik sesuai dengan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2025–2045[1]. Berikut analisis strategis berbasis data lapangan dan regulasi nasional.
Profil Makam La Tenri Lai To Senggeng
Terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, kompleks makam
ini mencakup 44 makam bersejarah dengan nisan khas Bugis-Makassar, termasuk
nisan berbentuk meriam bekas Perang Tosora (1670)[2]. La Tenri Lai dikenal sebagai pemimpin
yang menolak tunduk pada Perjanjian Bongaya (1667) dan gugur mempertahankan
kedaulatan Wajo dari Belanda dan sekutunya[3].
Analisis Perlindungan
Dasar Hukum
·
UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya: Makam berusia 355 tahun ini memenuhi
kriteria usia, nilai sejarah, dan nilai budaya (Pasal 5)[4].
·
Perda Kabupaten Wajo No. 4/2015: Mengamanatkan pembentukan Tim Ahli
Cagar Budaya (TACB) untuk menetapkan status perlindungan[5].
Tantangan
1. Degradasi
Fisik: Kerusakan struktur nisan akibat
erosi dan aktivitas pertanian di sekitarnya[2].
2. Minimnya
Regulasi Spesifik: Belum
ada Perda Kabupaten Wajo yang secara khusus mengatur perlindungan kompleks
makam ini[3].
Rekomendasi
·
Pemetaan
detail kondisi makam menggunakan teknologi 3D untuk dokumentasi arkeologis[5].
·
Penetapan
status cagar budaya tingkat kabupaten
melalui kajian TACB[4].
Analisis Pengembangan
Potensi Penguatan Identitas
·
Nilai Kepahlawanan: La Tenri Lai diusulkan sebagai
Pahlawan Nasional oleh komunitas sejarah Wajo, merujuk pada perannya dalam
Perang Tosora[3].
·
Integrasi Budaya: Kompleks makam merefleksikan hubungan
kekerabatan Wajo-Kutai melalui makam Sultan Kutai XIV, Sultan Adji Muhammad
Idris[2].
Strategi Pengembangan
1. Edukasi
Multigenerasi:
o Pengembangan modul sejarah lokal
berbasis Lontara Sukkuna Wajo untuk
sekolah[5].
o Pelatigan pemandu wisata budaya bagi
pemuda setempat[6].
2. Infrastruktur
Pendukung:
o Pembangunan jalur pedestrian anti-erosi
menuju kompleks makam[2].
o Instalasi papan informasi bilingual
(Indonesia-Bugis) dengan QR code untuk akses literasi digital[1].
Analisis Pemanfaatan
Model Berkelanjutan
Berdasarkan Pasal 86 UU No. 11/2010, pemanfaatan cagar
budaya harus memprioritaskan pelestarian nilai budaya. Beberapa model yang
dapat diadopsi:
Model |
Deskripsi |
Contoh |
Wisata
Sejarah |
Paket tur tematik "Jejak Arung Matoa Wajo" bersama
situs Geddonge dan Benteng Tosora[6]. |
Kunjungan edukasi pelajar[6]. |
Festival
Budaya |
Pekan Budaya Tosora dengan pertunjukan paduppa (tradisi lisan Bugis)[5]. |
Pagelaran seni kolaboratif[6]. |
Penelitian
Arkeologi |
Kolaborasi dengan universitas untuk studi komparatif nisan
Bugis-Kutai[2]. |
Ekskavasi terbatas[2]. |
Tantangan
·
Keterbatasan Anggaran: Hanya 12% APBD Kabupaten Wajo
dialokasikan untuk sektor kebudayaan[3].
·
Minimnya Partisipasi Swasta: Belum ada program CSR yang fokus pada
pelestarian cagar budaya di Tosora[1].
Sinergi Stakeholder
1. Pemerintah
Daerah:
o Mengintegrasikan kompleks makam dalam Rencana Induk Pariwisata Daerah (RIPPDA)
Wajo[1].
o Mengajukan status cagar budaya nasional ke Kemdikbudristek[4].
2. Komunitas
Lokal:
o Revitalisasi adaʼ mappadendang (tradisi ziarah) sebagai daya tarik wisata religi[3].
3. Akademisi:
o Studi tentang pengaruh arsitektur
Makassar-Kutai pada kompleks makam[2].
Kesimpulan
Kompleks makam La Tenri Lai To Senggeng bukan hanya monumen
sejarah, tetapi juga aset strategis untuk penguatan identitas budaya dan
pembangunan berkelanjutan di Wajo. Implementasi RIPK 2025–2045[1] melalui sinergi regulasi, edukasi, dan
pemanfaatan kreatif menjadi kunci untuk memastikan pelestariannya. Dengan
langkah ini, makam ini dapat menjadi model pengelolaan cagar budaya berbasis
kearifan lokal di Indonesia timur.
Referensi
1.
https://www.kompas.id/baca/english/2024/10/14/en-rencana-induk-pemajuan-kebudayaan-menjadi-kerangka-pemanfaatan-potensi-biokultural
2.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_makam_La_Tenrilai_Tosengngeng
3.
https://mediabahana.com/2021/11/10/momentum-hari-pahlawan-pemerhati-budaya-wajo-dorong-pemerintah-usulkan-arung-matoa-wajo-ke-23-jadi-pahlawan-nasional/
4.
https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/volksgeist/article/download/11281/3965/35243
5.
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/25179/1/AMHARDIANTI_80100219054.pdf