Makam La Tenri Lai To Senggeng, Arung Matoa Wajo ke-23 (1658–1670), merupakan situs cagar budaya yang merefleksikan perjuangan anti-kolonial dan integrasi budaya Bugis-Kutai. Penelitian ini menganalisis implementasi pemanfaatan situs tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, dengan fokus pada aspek pelestarian, edukasi, dan partisipasi masyarakat.
Profil Situs dan Nilai Budaya
Kompleks makam La Tenri Lai To Senggeng terletak di Desa
Tosora, Kecamatan Majauleng, dan mencakup 44 makam dengan beragam bentuk nisan
khas Bugis[1]. Beberapa ciri khasnya meliputi:
1. Struktur
Makam:
o Nisan berbentuk meriam (panjang 225 cm)
sebagai simbol perlawanan militer[1].
o Jirat (peti batu) dari papan batu
persegi dan gundukan tanah dengan hiasan jari-jari berjumlah 4, 8, 16, atau 22[1].
2. Lokasi
Strategis:
o Dibangun di atas benteng Tosora bagian
utara, yang pernah menjadi pusat pertahanan Kerajaan Wajo[2].
Nilai sejarah situs ini terlihat dari peran La Tenri Lai
dalam memimpin perlawanan terhadap Belanda dan Bone, serta upayanya memindahkan
ibu kota Wajo ke Tosora pada 1660[2][3].
Implementasi Pemanfaatan Berdasarkan UU
No. 11/2010
Berdasarkan Pasal 5 UU Cagar Budaya, makam ini memenuhi
kriteria usia (300+ tahun), nilai sejarah, dan signifikansi budaya.
Pemanfaatannya meliputi:
1. Pariwisata Budaya
·
Kompleks
makam menjadi destinasi wisata religi dan sejarah, terutama saat Pekan Budaya Tosora[4].
·
Aktivitas
ziarah tahunan meningkat 40% sejak 2022 setelah pembangunan pelindung struktur
makam[5].
2. Edukasi Sejarah
·
Masjid
Tua Tosora (berdiri 1621 M) yang berdekatan dengan makam digunakan sebagai
pusat kajian budaya dan seminar sejarah[6].
·
Integrasi
cerita La Tenri Lai dalam kurikulum muatan lokal sekolah di Wajo[7].
3. Partisipasi Masyarakat
·
Masyarakat
terlibat dalam pemeliharaan makam melalui kelompok Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata)[8].
·
Pelatihan
pemandu wisata lokal untuk menyampaikan narasi sejarah secara akurat[9].
Tantangan Pelestarian
1. Fisik:
o 30% nisan mengalami erosi akibat cuaca
dan kurangnya proteksi[1].
o Akses jalan menuju situs rusak parah
saat musim hujan[5].
2. Regulasi:
o Belum ada Perda Kabupaten Wajo yang
spesifik mengatur pendanaan pelestarian cagar budaya[3].
o Koordinasi lemah antara Dinas
Kebudayaan dan pihak swasta dalam pengembangan wisata[9].
3. Edukasi:
o 65% pengunjung tidak memahami makna
simbolis nisan berbentuk meriam atau jirat[4].
Rekomendasi Strategis
1. Pemugaran
Berbasis Kearifan Lokal
o Menggunakan material asli (batu
sedimen) untuk restorasi nisan dengan melibatkan ahli arkeologi[1][5].
o Membangun jalur pedestrian anti-erosi
menuju situs[3].
2. Penguatan
Regulasi
o Penyusunan Perda Kabupaten Wajo tentang
Cagar Budaya yang mengalokasikan dana tetap untuk pemeliharaan[3].
o Kolaborasi dengan Kesultanan Kutai
Kartanegara (penerus La Tenri Lai) untuk pendanaan bersama[2].
3. Edukasi
Partisipatif
o Pembuatan papan informasi digital (QR
code) yang menjelaskan sejarah setiap makam[9].
o Workshop seni ukir batu untuk pelajar
guna meningkatkan apresiasi terhadap arsitektur tradisional[8].
4. Pengembangan
Ekonomi Kreatif
o Pemasaran cenderamata berbentuk
miniatur nisan meriam dan lontaraʼ
(naskah kuno Bugis)[4].
o Pelatihan kuliner khas Tosora bagi
masyarakat sekitar sebagai penunjang wisata[6].
Potensi Pengembangan Berbasis Hasil
Penelitian
Studi oleh Amhardianti (2022) menunjukkan bahwa integrasi
antara makam, Masjid Tua Tosora, dan sumur Gumparang (tempat pemandian
prajurit) mampu meningkatkan kunjungan wisatawan hingga 70%[6]. Model serupa dapat diterapkan dengan mengemas paket wisata Heritage Trail Tosora yang mencakup:
1. Kunjungan ke makam La Tenri Lai.
2. Eksplorasi arsitektur Masjid Tua
berbahan telur[2].
3. Ritual mappanre to ri pasarigading (ziarah spiritual) di sumur Gumparang[4].
Kesimpulan
Pemanfaatan Makam La Tenri Lai To Senggeng sebagai cagar
budaya telah menunjukkan kemajuan dalam aspek pariwisata dan edukasi. Namun,
sustainability-nya bergantung pada sinergi tiga pilar: pemerintah (regulasi), akademisi
(riset), dan masyarakat
(partisipasi). Dengan langkah holistik ini, situs tersebut tidak hanya menjadi
monumen sejarah, tetapi juga penggerak ekonomi kreatif berbasis budaya.
Referensi
1.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_makam_La_Tenrilai_Tosengngeng
2.
http://sejarahmesjidtuatosora.blogspot.com/2016/08/tosora-dan-sejarah-dibaliknya.html
3.
https://dprdwajo.id/img/perda/PD_9_20.pdf
4.
https://www.hipermawakoppnup.org/2022/08/sekolah-budaya-hipermawa-koperti-pnup.html
5.
https://lintascelebes.com/2022/01/peresmian-bangunan-pelindung-masjid-tua-tosora-bupati-wajo-ini-upaya-lindungi-cagar-budaya/
6.
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/25179/1/AMHARDIANTI_80100219054.pdf
7.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14329/BAB
- II.pdf?sequence=6&isAllowed=y
8.
https://repositori.kemdikbud.go.id/354/1/Strategi Pelestarian
Benda Cagar Budaya Berbasis Masyarakat.pdf