Senin, 14 Juli 2025

Kajian Pelaksanaan Pemanfaatan Cagar Budaya: Makam La Salewangeng To Tenri Ruwa Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.

Makam La Salewangeng To Tenri Ruwa, Arung Matoa Wajo ke-XXX (1711–1715), merupakan situs cagar budaya yang merepresentasikan ketangguhan politik dan ekonomi Kerajaan Wajo pasca-Perang Tosora. Artikel ini menganalisis upaya pemanfaatan situs tersebut sebagai warisan budaya berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, dengan fokus pada nilai sejarah, tantangan konservasi, dan strategi pengembangan berbasis komunitas.

Profil Historis Makam La Salewangeng To Tenri Ruwa

La Salewangeng To Tenri Ruwa adalah pemimpin yang memulihkan Wajo dari keterpurukan pasca-kekalahan dalam Perang Tosora (1670). Berdasarkan catatan lontaraʼ dan kunjungan situs budaya di Wajo[1], ia dikenal sebagai:

1.      Pembangun Infrastruktur Ekonomi:

o   Membangun sistem irigasi (salori’) untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

o   Mendirikan gudang penyimpanan (geddonge) untuk komoditas perdagangan seperti bubuk mesiu dan hasil panen.

2.     Penggerak Diaspora Wajo:

o   Memanfaatkan jaringan diaspora Wajo di Sumatra, Kalimantan, dan Asia Tenggara untuk menghidupkan kembali perdagangan.

Kompleks makamnya terletak di Kecamatan Majauleng, menjadi simbol kebangkitan Wajo setelah perang.

Nilai Budaya dan Kriteria Cagar Budaya

1. Nilai Sejarah (Pasal 5 UU No. 11/2010)

·        Usia: Makam berusia >300 tahun, memenuhi syarat minimal 50 tahun.

·        Peran Pemimpin: La Salewangeng mengubah Wajo dari wilayah terpuruk menjadi pusat perdagangan strategis di Sulawesi abad ke-18[1].

2. Nilai Arsitektur

·        Desain Nisan: Menggunakan meriam bekas perang dan batu alam, mirip dengan kompleks makam La Tenri Ruwa di Bantaeng[2][3].

·        Tata Letak: Hierarki makam bangsawan mencerminkan struktur sosial Kerajaan Wajo.

3. Fungsi Sosial

·        Wisata Edukasi: Dikunjungi pelajar dan akademisi dalam kegiatan Kemah Budaya untuk mempelajari kearifan lokal[1].

·        Ziarah Budaya: Masyarakat berziarah pada momen tertentu sebagai bentuk penghormatan.

Tantangan Pemanfaatan

1.      Kerusakan Fisik:

o   Erosi pada nisan kayu dan batu akibat cuaca tropis, mirip dengan masalah di Makam La Tenri Ruwa Bantaeng[4][5].

o   Aktivitas pertanian di sekitar situs yang mengancam struktur tanah.

2.     Minimnya Edukasi:

o   Tidak ada papan informasi yang menjelaskan sejarah makam, mengandalkan narasi lisan.

3.      Keterbatasan Regulasi:

o   Belum ada Perda Kabupaten Wajo yang secara spesifik mengalokasikan dana untuk konservasi.

Strategi Pemanfaatan Berkelanjutan

1. Konservasi Partisipatif

·        Pelibatan Masyarakat Adat: Melatih warga setempat dalam teknik perawatan nisan berbahan kayu, mengadopsi metode yang digunakan di Bantaeng[6].

·        Revitalisasi Fisik: Memperbaiki jalan akses dan memasang pencahayaan untuk meningkatkan kunjungan, seperti inisiatif Polres Bantaeng[6].

2. Penguatan Edukasi

·        Papan Informasi Bilingual: Menyajikan narasi sejarah dalam bahasa Indonesia dan Bugis.

·        Integrasi Kurikulum Sekolah: Memasukkan kisah La Salewangeng dalam mata pelajaran sejarah lokal.

3. Pengembangan Wisata Terpadu

·        Paket Tur Sejarah: Menggabungkan kunjungan ke makam dengan situs lain seperti Geddonge (gudang persenjataan) dan Masjid Tua Tosora.

·        Festival Budaya Tahunan: Menyelenggarakan acara bertema sejarah Wajo untuk menarik wisatawan.

Rekomendasi Kebijakan

1.      Perda Pelestarian Cagar Budaya:

o   Menetapkan zona inti dan penyangga sekitar makam.

o   Mengalokasikan anggaran khusus untuk pemeliharaan rutin.

2.     Kolaborasi Lintas Daerah:

o   Berbagi pengalaman dengan pengelola Makam La Tenri Ruwa di Bantaeng yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional[7].

Penutup

Makam La Salewangeng To Tenri Ruwa memiliki potensi besar sebagai sumber edukasi dan penguatan identitas budaya Wajo. Namun, pemanfaatannya memerlukan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Dengan pendekatan holistik, situs ini dapat menjadi contoh sukses pelestarian cagar budaya berbasis komunitas di Sulawesi Selatan.

Referensi

1.      https://www.hipermawakoppnup.org/2020/02/kunjungan-situs-budaya.html   

2.     https://id.wikipedia.org/wiki/Makam_La_Tenri_Ruwa

3.      https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Makam_La_Tenri_Ruwa

4.     http://repository.unhas.ac.id/24372/2/F071181301_skripsi_16-09-2022 1-2.pdf 

5.      https://borobudur.kemdikbud.go.id/index.php/jurnalkonservasicagarbudaya/article/view/327 

6.     https://beritaglobal-indonesia.com/2024/04/18/polres-bantaeng-akan-revitalisasi-4-makam-di-taman-purbakala-la-tenri-ruwa/  

7.      https://makassar.tribunnews.com/2017/05/10/taman-purbakala-bantaeng-saksi-bisu-sejarah-la-tenri-ruwa-dan-raja-raja-di-butta-toa

Senin, 07 Juli 2025

Analisis Implementasi Pemanfaatan Cagar Budaya: Studi pada Makam La Tenri Lai To Senggeng Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.

Makam La Tenri Lai To Senggeng, Arung Matoa Wajo ke-23 (1658–1670), merupakan situs cagar budaya yang merefleksikan perjuangan anti-kolonial dan integrasi budaya Bugis-Kutai. Penelitian ini menganalisis implementasi pemanfaatan situs tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, dengan fokus pada aspek pelestarian, edukasi, dan partisipasi masyarakat.

Profil Situs dan Nilai Budaya

Kompleks makam La Tenri Lai To Senggeng terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, dan mencakup 44 makam dengan beragam bentuk nisan khas Bugis[1]. Beberapa ciri khasnya meliputi:

1.      Struktur Makam:

o   Nisan berbentuk meriam (panjang 225 cm) sebagai simbol perlawanan militer[1].

o   Jirat (peti batu) dari papan batu persegi dan gundukan tanah dengan hiasan jari-jari berjumlah 4, 8, 16, atau 22[1].

2.     Lokasi Strategis:

o   Dibangun di atas benteng Tosora bagian utara, yang pernah menjadi pusat pertahanan Kerajaan Wajo[2].

Nilai sejarah situs ini terlihat dari peran La Tenri Lai dalam memimpin perlawanan terhadap Belanda dan Bone, serta upayanya memindahkan ibu kota Wajo ke Tosora pada 1660[2][3].

Implementasi Pemanfaatan Berdasarkan UU No. 11/2010

Berdasarkan Pasal 5 UU Cagar Budaya, makam ini memenuhi kriteria usia (300+ tahun), nilai sejarah, dan signifikansi budaya. Pemanfaatannya meliputi:

1. Pariwisata Budaya

·        Kompleks makam menjadi destinasi wisata religi dan sejarah, terutama saat Pekan Budaya Tosora[4].

·        Aktivitas ziarah tahunan meningkat 40% sejak 2022 setelah pembangunan pelindung struktur makam[5].

2. Edukasi Sejarah

·        Masjid Tua Tosora (berdiri 1621 M) yang berdekatan dengan makam digunakan sebagai pusat kajian budaya dan seminar sejarah[6].

·        Integrasi cerita La Tenri Lai dalam kurikulum muatan lokal sekolah di Wajo[7].

3. Partisipasi Masyarakat

·        Masyarakat terlibat dalam pemeliharaan makam melalui kelompok Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata)[8].

·        Pelatihan pemandu wisata lokal untuk menyampaikan narasi sejarah secara akurat[9].

Tantangan Pelestarian

1.      Fisik:

o   30% nisan mengalami erosi akibat cuaca dan kurangnya proteksi[1].

o   Akses jalan menuju situs rusak parah saat musim hujan[5].

2.     Regulasi:

o   Belum ada Perda Kabupaten Wajo yang spesifik mengatur pendanaan pelestarian cagar budaya[3].

o   Koordinasi lemah antara Dinas Kebudayaan dan pihak swasta dalam pengembangan wisata[9].

3.      Edukasi:

o   65% pengunjung tidak memahami makna simbolis nisan berbentuk meriam atau jirat[4].

Rekomendasi Strategis

1.      Pemugaran Berbasis Kearifan Lokal

o   Menggunakan material asli (batu sedimen) untuk restorasi nisan dengan melibatkan ahli arkeologi[1][5].

o   Membangun jalur pedestrian anti-erosi menuju situs[3].

2.     Penguatan Regulasi

o   Penyusunan Perda Kabupaten Wajo tentang Cagar Budaya yang mengalokasikan dana tetap untuk pemeliharaan[3].

o   Kolaborasi dengan Kesultanan Kutai Kartanegara (penerus La Tenri Lai) untuk pendanaan bersama[2].

3.      Edukasi Partisipatif

o   Pembuatan papan informasi digital (QR code) yang menjelaskan sejarah setiap makam[9].

o   Workshop seni ukir batu untuk pelajar guna meningkatkan apresiasi terhadap arsitektur tradisional[8].

4.     Pengembangan Ekonomi Kreatif

o   Pemasaran cenderamata berbentuk miniatur nisan meriam dan lontaraʼ (naskah kuno Bugis)[4].

o   Pelatihan kuliner khas Tosora bagi masyarakat sekitar sebagai penunjang wisata[6].

Potensi Pengembangan Berbasis Hasil Penelitian

Studi oleh Amhardianti (2022) menunjukkan bahwa integrasi antara makam, Masjid Tua Tosora, dan sumur Gumparang (tempat pemandian prajurit) mampu meningkatkan kunjungan wisatawan hingga 70%[6]. Model serupa dapat diterapkan dengan mengemas paket wisata Heritage Trail Tosora yang mencakup:

1.      Kunjungan ke makam La Tenri Lai.

2.     Eksplorasi arsitektur Masjid Tua berbahan telur[2].

3.      Ritual mappanre to ri pasarigading (ziarah spiritual) di sumur Gumparang[4].

Kesimpulan

Pemanfaatan Makam La Tenri Lai To Senggeng sebagai cagar budaya telah menunjukkan kemajuan dalam aspek pariwisata dan edukasi. Namun, sustainability-nya bergantung pada sinergi tiga pilar: pemerintah (regulasi), akademisi (riset), dan masyarakat (partisipasi). Dengan langkah holistik ini, situs tersebut tidak hanya menjadi monumen sejarah, tetapi juga penggerak ekonomi kreatif berbasis budaya.

Referensi

1.      https://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_makam_La_Tenrilai_Tosengngeng     

2.     http://sejarahmesjidtuatosora.blogspot.com/2016/08/tosora-dan-sejarah-dibaliknya.html    

3.      https://dprdwajo.id/img/perda/PD_9_20.pdf    

4.     https://www.hipermawakoppnup.org/2022/08/sekolah-budaya-hipermawa-koperti-pnup.html    

5.      https://lintascelebes.com/2022/01/peresmian-bangunan-pelindung-masjid-tua-tosora-bupati-wajo-ini-upaya-lindungi-cagar-budaya/   

6.     http://repositori.uin-alauddin.ac.id/25179/1/AMHARDIANTI_80100219054.pdf   

7.      http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14329/BAB - II.pdf?sequence=6&isAllowed=y

8.     https://repositori.kemdikbud.go.id/354/1/Strategi Pelestarian Benda Cagar Budaya Berbasis Masyarakat.pdf  

9.     https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/1908/