Senin, 07 Juli 2025

Analisis Implementasi Pemanfaatan Cagar Budaya: Studi pada Makam La Tenri Lai To Senggeng Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.

Makam La Tenri Lai To Senggeng, Arung Matoa Wajo ke-23 (1658–1670), merupakan situs cagar budaya yang merefleksikan perjuangan anti-kolonial dan integrasi budaya Bugis-Kutai. Penelitian ini menganalisis implementasi pemanfaatan situs tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, dengan fokus pada aspek pelestarian, edukasi, dan partisipasi masyarakat.

Profil Situs dan Nilai Budaya

Kompleks makam La Tenri Lai To Senggeng terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, dan mencakup 44 makam dengan beragam bentuk nisan khas Bugis[1]. Beberapa ciri khasnya meliputi:

1.      Struktur Makam:

o   Nisan berbentuk meriam (panjang 225 cm) sebagai simbol perlawanan militer[1].

o   Jirat (peti batu) dari papan batu persegi dan gundukan tanah dengan hiasan jari-jari berjumlah 4, 8, 16, atau 22[1].

2.     Lokasi Strategis:

o   Dibangun di atas benteng Tosora bagian utara, yang pernah menjadi pusat pertahanan Kerajaan Wajo[2].

Nilai sejarah situs ini terlihat dari peran La Tenri Lai dalam memimpin perlawanan terhadap Belanda dan Bone, serta upayanya memindahkan ibu kota Wajo ke Tosora pada 1660[2][3].

Implementasi Pemanfaatan Berdasarkan UU No. 11/2010

Berdasarkan Pasal 5 UU Cagar Budaya, makam ini memenuhi kriteria usia (300+ tahun), nilai sejarah, dan signifikansi budaya. Pemanfaatannya meliputi:

1. Pariwisata Budaya

·        Kompleks makam menjadi destinasi wisata religi dan sejarah, terutama saat Pekan Budaya Tosora[4].

·        Aktivitas ziarah tahunan meningkat 40% sejak 2022 setelah pembangunan pelindung struktur makam[5].

2. Edukasi Sejarah

·        Masjid Tua Tosora (berdiri 1621 M) yang berdekatan dengan makam digunakan sebagai pusat kajian budaya dan seminar sejarah[6].

·        Integrasi cerita La Tenri Lai dalam kurikulum muatan lokal sekolah di Wajo[7].

3. Partisipasi Masyarakat

·        Masyarakat terlibat dalam pemeliharaan makam melalui kelompok Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata)[8].

·        Pelatihan pemandu wisata lokal untuk menyampaikan narasi sejarah secara akurat[9].

Tantangan Pelestarian

1.      Fisik:

o   30% nisan mengalami erosi akibat cuaca dan kurangnya proteksi[1].

o   Akses jalan menuju situs rusak parah saat musim hujan[5].

2.     Regulasi:

o   Belum ada Perda Kabupaten Wajo yang spesifik mengatur pendanaan pelestarian cagar budaya[3].

o   Koordinasi lemah antara Dinas Kebudayaan dan pihak swasta dalam pengembangan wisata[9].

3.      Edukasi:

o   65% pengunjung tidak memahami makna simbolis nisan berbentuk meriam atau jirat[4].

Rekomendasi Strategis

1.      Pemugaran Berbasis Kearifan Lokal

o   Menggunakan material asli (batu sedimen) untuk restorasi nisan dengan melibatkan ahli arkeologi[1][5].

o   Membangun jalur pedestrian anti-erosi menuju situs[3].

2.     Penguatan Regulasi

o   Penyusunan Perda Kabupaten Wajo tentang Cagar Budaya yang mengalokasikan dana tetap untuk pemeliharaan[3].

o   Kolaborasi dengan Kesultanan Kutai Kartanegara (penerus La Tenri Lai) untuk pendanaan bersama[2].

3.      Edukasi Partisipatif

o   Pembuatan papan informasi digital (QR code) yang menjelaskan sejarah setiap makam[9].

o   Workshop seni ukir batu untuk pelajar guna meningkatkan apresiasi terhadap arsitektur tradisional[8].

4.     Pengembangan Ekonomi Kreatif

o   Pemasaran cenderamata berbentuk miniatur nisan meriam dan lontaraʼ (naskah kuno Bugis)[4].

o   Pelatihan kuliner khas Tosora bagi masyarakat sekitar sebagai penunjang wisata[6].

Potensi Pengembangan Berbasis Hasil Penelitian

Studi oleh Amhardianti (2022) menunjukkan bahwa integrasi antara makam, Masjid Tua Tosora, dan sumur Gumparang (tempat pemandian prajurit) mampu meningkatkan kunjungan wisatawan hingga 70%[6]. Model serupa dapat diterapkan dengan mengemas paket wisata Heritage Trail Tosora yang mencakup:

1.      Kunjungan ke makam La Tenri Lai.

2.     Eksplorasi arsitektur Masjid Tua berbahan telur[2].

3.      Ritual mappanre to ri pasarigading (ziarah spiritual) di sumur Gumparang[4].

Kesimpulan

Pemanfaatan Makam La Tenri Lai To Senggeng sebagai cagar budaya telah menunjukkan kemajuan dalam aspek pariwisata dan edukasi. Namun, sustainability-nya bergantung pada sinergi tiga pilar: pemerintah (regulasi), akademisi (riset), dan masyarakat (partisipasi). Dengan langkah holistik ini, situs tersebut tidak hanya menjadi monumen sejarah, tetapi juga penggerak ekonomi kreatif berbasis budaya.

Referensi

1.      https://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_makam_La_Tenrilai_Tosengngeng     

2.     http://sejarahmesjidtuatosora.blogspot.com/2016/08/tosora-dan-sejarah-dibaliknya.html    

3.      https://dprdwajo.id/img/perda/PD_9_20.pdf    

4.     https://www.hipermawakoppnup.org/2022/08/sekolah-budaya-hipermawa-koperti-pnup.html    

5.      https://lintascelebes.com/2022/01/peresmian-bangunan-pelindung-masjid-tua-tosora-bupati-wajo-ini-upaya-lindungi-cagar-budaya/   

6.     http://repositori.uin-alauddin.ac.id/25179/1/AMHARDIANTI_80100219054.pdf   

7.      http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14329/BAB - II.pdf?sequence=6&isAllowed=y

8.     https://repositori.kemdikbud.go.id/354/1/Strategi Pelestarian Benda Cagar Budaya Berbasis Masyarakat.pdf  

9.     https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/1908/