Jumat, 22 Agustus 2025

Integrasi Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Wajo

 

Integrasi Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) dalam
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Wajo

Abd. Rachim

Analis Cagar Budaya dan Koleksi Museum – Disdikbud Wajo

 

ABSTRAK

Integrasi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dalam perencanaan pembangunan daerah merupakan strategi kunci untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan berbasis budaya di Kabupaten Wajo. Penelitian ini menganalisis peluang dan tantangan integrasi IPK ke dalam RPJMD 2025-2029 melalui pendekatan kualitatif dengan studi literatur, analisis dokumen, dan pembelajaran dari best practices. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Wajo memiliki potensi budaya lokal seperti tenun sutra, Festival Danau Tempe, dan naskah lontara yang dapat mendukung pencapaian 7 dimensi IPK. Namun, tantangan utama meliputi ketiadaan data baseline IPK, kapasitas kelembagaan terbatas di Disdikbud dan Bappelitbangda, serta belum adanya Perda Pemajuan Kebudayaan yang secara spesifik mengamanatkan integrasi IPK. Penelitian merekomendasikan: (1) penghitungan baseline IPK dalam 6 bulan; (2) penyusunan Perda pemajuan kebudayaan yang memuat kewajiban integrasi IPK; (3) pelatihan teknis untuk perangkat daerah; (4) integrasi program prioritas berbasis IPK dalam RPJMD. Implementasi rekomendasi ini diharapkan dapat meningkatkan IPK Wajo dari 50,0 menjadi 58,0 pada 2029 serta kontribusi sektor budaya terhadap PDB dari 1,3% menjadi 2,5%.

Kata Kunci: Indeks Pembangunan Kebudayaan, Perencanaan Daerah, Pembangunan Berkelanjutan, Kabupaten Wajo, RPJMD.

ABSTRACT

The integration of the Cultural Development Index (IPK) into regional development planning is a key strategy for achieving sustainable culture-based development in Wajo Regency. This study analyzes opportunities and challenges of integrating IPK into the 2025-2029 Regional Medium-Term Development Plan (RPJMD) through qualitative approaches including literature study, document analysis, and best practices learning. The results show that Wajo has local cultural potentials such as silk weaving, Lake Tempe Festival, and lontara manuscripts that can support the achievement of IPK's 7 dimensions. However, main challenges include the absence of IPK baseline data, limited institutional capacity in the Education and Culture Office (Disdikbud) and Regional Development Planning Agency (Bappelitbangda), and the lack of a specific Cultural Advancement Regional Regulation that mandates IPK integration. The study recommends: (1) conducting IPK baseline assessment within 6 months; (2) formulating a Cultural Advancement Regional Regulation that mandates IPK integration; (3) technical training for local government staff; (4) integration of IPK-based priority programs into RPJMD. Implementation of these recommendations is expected to increase Wajo's IPK from 50.0 to 58.0 by 2029 and cultural sector's contribution to GDP from 1.3% to 2.5%.

Keywords: Cultural Development Index, Regional Planning, Sustainable Development, Wajo Regency, RPJMD.

PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang

Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) merupakan instrumen pemajuan kebudayaan pertama di dunia yang diluncurkan Indonesia pada tahun 2019. Berdasarkan Permendikbud No. 14 Tahun 2020, IPK mengukur capaian pembangunan kebudayaan melalui 7 dimensi: Pendidikan, Warisan Budaya, Ekonomi Budaya, Budaya Literasi, Ketahanan Sosial Budaya, Ekspresi Budaya, dan Kesetaraan Gender dalam Kebudayaan. Sebagai alat ukur berbasis data, IPK dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan nasional termasuk dalam RPJMN 2020-2024.

Di Kabupaten Wajo, integrasi IPK dalam perencanaan pembangunan menghadapi tantangan signifikan mengingat data IPK spesifik belum tersedia secara publik. Padahal, pembangunan kebudayaan merupakan modal dasar untuk mewujudkan visi "Wajo Maradeka" yang maju, religius, dan berkeadilan. Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya kapasitas kelembagaan dimana leading sector kebudayaan berada di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta belum adanya regulasi khusus yang mengatur pemajuan kebudayaan.

2.    Tujuan dan Metodologi

Makalah ini bertujuan:

1.     Menganalisis peluang integrasi IPK dalam perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Wajo

2.     Merumuskan strategi operasionalisasi IPK dalam dokumen perencanaan RPJMD 2025-2029

Makalah disusun menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif melalui:

1.     Studi literatur terhadap kebijakan nasional dan dokumen perencanaan daerah

2.     Analisis dokumen RPJPD Sulsel 2025-2045 dan rancangan RPJMD Wajo

3.     Best practices penerapan IPK dari daerah lain di Indonesia

Teknik pengumpulan data menggunakan purposive sampling terhadap dokumen perencanaan dan kebijakan terkait pembangunan kebudayaan di tingkat nasional dan daerah.

TINJAUAN TEORITIS DAN KERANGKA KEBIJAKAN

1.    Konsep Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK)

Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) merupakan instrumen pengukuran pertama di dunia yang secara komprehensif menilai kemajuan kebudayaan suatu wilayah. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Pemajuan Kebudayaan, IPK mengintegrasikan 7 dimensi pembangunan kebudayaan yang mencakup 31 indikator terukur. IPK dirancang melalui proses metodologis yang ketat untuk memastikan validitas dan reliabilitas pengukurannya.

Nilai IPK nasional tahun 2018 sebesar 53,74 (skala 0-100) menunjukkan capaian yang masih dalam kategori sedang. Analisis per dimensi mengungkap variasi pencapaian yang signifikan, dengan dimensi Ekspresi Budaya mencatat nilai tertinggi (75,60) sementara Ekonomi Budaya menjadi dimensi dengan nilai terendah (30,55). Data ini mengonfirmasi bahwa aspek ekonomi berbasis budaya masih menjadi tantangan terbesar dalam pembangunan kebudayaan nasional. Beberapa dimensi kunci yang relevan untuk Kabupaten Wajo meliputi dimensi Ekonomi Budaya dengan indikator kontribusi PDB sektor budaya dan jumlah pelaku ekonomi kreatif yang dapat diaplikasikan melalui pengembangan tenun sutra dan pariwisata budaya. Dimensi Warisan Budaya dengan fokus pada perlindungan cagar budaya dan naskah kuno sangat relevan dengan upaya digitalisasi lontara dan pelestarian situs budaya di Wajo. Sementara itu, dimensi Ekspresi Budaya melalui indikator festival budaya dan ruang ekspresi dapat diwujudkan melalui pengembangan Festival Danau Tempe dan sanggar seni.

2.    Dasar Hukum dan Relevansi bagi Daerah

Kerangka hukum pengembangan IPK didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, khususnya Pasal 10 yang menegaskan kewajiban integrasi kebudayaan dalam perencanaan pembangunan. Ketentuan ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Pemajuan Kebudayaan yang menjabarkan teknis pengukuran IPK. Dalam konteks perencanaan nasional, IPK telah diadopsi sebagai salah satu indikator dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan akan terus menjadi indikator penting dalam RPJMN 2025-2029.

Bagi Kabupaten Wajo, integrasi IPK memiliki relevansi strategis yang multidimensi. Pertama, adanya kesesuaian dengan Visi "Wajo Maradeka" yang berorientasi pada pembangunan berbasis kearifan lokal sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Kedua, ketiadaan data IPK selama ini telah menghambat perencanaan berbasis bukti untuk program kebudayaan di daerah. Ketiga, integrasi IPK dapat membuka akses terhadap berbagai skema pendanaan termasuk dana insentif daerah dan program matching fund Kemendikbud. Selain itu, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sulawesi Selatan 2025-2045 yang memprioritaskan pembangunan kebudayaan menuntut adanya sinkronisasi dengan rencana pembangunan di tingkat provinsi.

Berdasarkan analisis kerangka hukum dan konseptual tersebut, terlihat bahwa integrasi IPK dalam perencanaan pembangunan Wajo bukan hanya sebuah keharusan hukum tetapi juga kebutuhan strategis untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis budaya. Implementasi IPK akan memperkuat posisi kebudayaan sebagai fondasi pembangunan dan memberikan arahan yang jelas dalam pencapaian target pembangunan daerah.

ANALISIS INTEGRASI IPK DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN WAJO

1.    Kapasitas Kelembagaan dan Regulasi Daerah

Integrasi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dalam perencanaan pembangunan Kabupaten Wajo menghadapi dinamika kelembagaan dan regulasi yang kompleks. Berdasarkan analisis dokumen dan kondisi aktual, terdapat beberapa peluang strategis yang dapat dimanfaatkan. Proses penyusunan RPJMD Wajo 2025-2029 yang sedang dalam finalisasi melalui Musrenbang menjadi momentum kritis untuk memasukkan indikator IPK sebagai acuan pembangunan. Dokumen perencanaan ini dapat mengadopsi model "Budaya sebagai Arsitektur Pembangunan" dengan target peningkatan IPK yang terukur. Selain itu, Kompetisi Inovasi Daerah 2025 dapat dialihfungsikan sebagai katalis inovasi berbasis budaya, dengan mengalokasikan sebagian anggaran untuk program-program yang secara langsung mendongkrak capaian IPK.

Namun, beberapa tantangan kelembagaan signifikan perlu diatasi. Wajo belum memiliki Peraturan Daerah khusus tentang Pemajuan Kebudayaan, berbanding terbalik dengan daerah lain yang telah memiliki payung hukum kuat untuk pembangunan kebudayaan. Kondisi ini berimplikasi pada alokasi APBD untuk kebudayaan yang hanya mencapai 2,1% pada tahun 2023, jauh di bawah rekomendasi UNESCO sebesar 5%. Koordinasi yang masih fragmentatif antara Bappelitbangda, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta dinas terkait lainnya juga menjadi kendala dalam perumusan program kebudayaan yang terintegrasi. Kapasitas SDM yang terbatas, dimana hanya 12% staf Disdikbud yang terlatih dalam metodologi IPK, semakin memperumit upaya integrasi ini.

2.    Potensi dan Tantangan Berbasis Data

Kabupaten Wajo memiliki potensi budaya lokal yang signifikan untuk mendongkrak capaian IPK. Pada dimensi Ekspresi Budaya, tradisi lokal dan Festival Danau Tempe dapat dikembangkan sebagai soft power budaya yang berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 15% melalui pariwisata budaya. Tenun Sutra Wajo yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2022 memberikan peluang besar untuk pengembangan dimensi Ekonomi Budaya melalui skema cluster-based development untuk pengrajin sutra dan sertifikasi indikasi geografis untuk meningkatkan nilai jual. Visi "Wajo Maradeka" yang menekankan pembangunan inklusif dan berkeadilan juga sejalan dengan dimensi Ketahanan Sosial Budaya dan Kesetaraan Gender dalam IPK.

Namun, tantangan berbasis data cukup menghambat optimalisasi potensi tersebut. Ketidaktersediaan data IPK tingkat kabupaten mengakibatkan kebijakan kultural yang bersifat reaktif dan tidak berbasis evidence. Rendahnya dimensi Ekonomi Budaya yang hanya mencapai 30,55 secara nasional menjadi perhatian khusus, mengingat hanya 22% pengrajin tenun yang terdaftar sebagai pelaku usaha formal dan kontribusi sektor budaya terhadap PDB Wajo yang masih berada pada angka 1,3% pada tahun 2023. Kesenjangan kapasitas kelembagaan juga terlihat ketika membandingkan dengan best practice daerah lain, dimana alokasi APBD kebudayaan Wajo hanya 2,1% sementara Denpasar mencapai 6,5%, demikian pula dengan persentase SDM terlatih IPK yang jauh lebih rendah dibandingkan daerah percontohan.

Berdasarkan analisis tersebut, integrasi IPK dalam perencanaan pembangunan Wajo membutuhkan pendekatan komprehensif yang mencakup penguatan kelembagaan, penyediaan data yang memadai, dan pemanfaatan potensi budaya lokal secara optimal. Dengan memanfaatkan momentum penyusunan RPJMD 2025-2029, Wajo memiliki peluang untuk menjadi pelopor integrasi IPK di tingkat kabupaten dan mencapai pembangunan yang benar-benar berbasis kebudayaan.

STRATEGI INTEGRASI IPK DALAM RPJMD WAJO 2025-2029

1.    Langkah Operasional

Integrasi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) ke dalam RPJMD Wajo 2025-2029 memerlukan langkah-langkah operasional yang sistematis dan realistis. Pertama, dalam hal pemetaan data dan baseline study, perlu dibentuk tim teknis IPK yang terdiri atas Bappelitbangda sebagai koordinator, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pelaksana teknis, serta BPS Kabupaten dan akademisi lokal sebagai pendukung metodologis. Tim ini akan melakukan penghitungan baseline IPK dengan melibatkan masyarakat melalui Focus Group Discussion (FGD) partisipatif yang melibatkan 45 peserta dari unsur komunitas adat, pelaku ekonomi kreatif, akademisi, dan perangkat daerah.

Kedua, integrasi ke dalam dokumen perencanaan dilakukan melalui penetapan target peningkatan IPK dari asumsi baseline 50,0 menjadi 58,0 pada akhir periode RPJMD 2029. Target ini dijabarkan dalam program spesifik untuk setiap dimensi IPK, antara lain: (1) Dimensi Ekonomi Budaya melalui pengembangan klaster ekonomi kreatif tenun sutra Wajo; (2) Dimensi Pendidikan melalui integrasi muatan lokal budaya dalam kurikulum sekolah; (3) Dimensi Warisan Budaya melalui digitalisasi 150 naskah lontara dalam lima tahun; serta (4) Dimensi Kesetaraan Gender melalui program pemberdayaan perempuan pengrajin tenun.

Ketiga, penguatan kelembagaan dilakukan dengan menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengamanatkan peningkatan alokasi APBD secara bertahap minimal 1% per tahun hingga mencapai 5% pada tahun kelima. Pembentukan Kelompok Kerja IPK di bawah koordinasi Bappelitbangda diperlukan untuk memastikan koordinasi yang efektif antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, serta dinas terkait lainnya.

2.    Skema Pendanaan dan Monitoring

Skema pendanaan untuk implementasi IPK mengombinasikan sumber APBD dan dana eksternal. Dari sisi APBD, dialokasikan anggaran sebesar Rp 1 miliar per tahun yang didistribusikan untuk program prioritas berbasis IPK. Skema Kompetisi Inovasi Daerah 2025 dialokasikan sebagaian dananya untuk inisiatif masyarakat yang berkontribusi pada peningkatan IPK, dengan kriteria penilaian berbasis dampak pada dimensi-dimensi IPK.

Sistem monitoring dibangun melalui pengembangan dashboard IPK yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD). Dashboard ini memungkinkan pemantauan capaian indikator IPK secara berkala. Evaluasi triwulanan dilakukan oleh tim ahli independen yang terdiri dari akademisi, perwakilan komunitas budaya, dan fasilitator dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Implementasi strategi ini didukung oleh rencana aksi immediate pada tahun 2025, meliputi: (1) pelatihan metodologi IPK untuk 30 staf perangkat daerah dengan anggaran Rp 100 juta; (2) penandatanganan nota kesepahaman dengan Universitas Hasanuddin (UNHAS) untuk pendampingan penyusunan Perda Kebudayaan; dan (3) proyek percontohan digitalisasi naskah lontara dengan anggaran yang disesuaikan.

PENUTUP DAN REKOMENDASI

1.    Kesimpulan

Berdasarkan analisis komprehensif yang telah dilakukan, integrasi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dalam perencanaan pembangunan Kabupaten Wajo merupakan sebuah keharusan strategis untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berbasis budaya. Beberapa temuan kunci yang menjadi landasan kesimpulan ini adalah:

Pertama, dari aspek regulasi, Wajo memiliki dasar hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Pemajuan Kebudayaan, yang mewajibkan integrasi kebudayaan dalam perencanaan pembangunan. Kedua, secara operasional, proses penyusunan RPJMD 2025-2029 yang sedang berlangsung memberikan momentum tepat untuk mengadopsi IPK sebagai alat ukur pembangunan budaya. Ketiga, potensi budaya lokal seperti tenun sutra Wajo, Festival Danau Tempe, dan naskah lontara memberikan dasar substantif yang kuat untuk pengembangan seluruh dimensi IPK.

Namun, tantangan signifikan masih dihadapi, terutama terkait kapasitas kelembagaan dimana leading sector kebudayaan berada di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta belum adanya Perda khusus yang mengatur pemajuan kebudayaan. Ketiadaan data baseline IPK juga menjadi kendala utama dalam perencanaan berbasis evidence.

Dengan memanfaatkan momen penyusunan RPJMD 2025-2029 dan didukung oleh komitmen politik yang kuat, Wajo berpotensi menjadi pelopor integrasi IPK di tingkat kabupaten dan model percontohan bagi daerah lainnya di Indonesia.

2.    Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut rekomendasi yang dapat diimplementasikan:

Rekomendasi Kebijakan:

1.     Penghitungan Baseline IPK Segera

-        Pemerintah Kabupaten Wajo melalui Bappelitbangda dan Disdikbud perlu segera membentuk tim teknis untuk penghitungan baseline IPK dalam waktu 6 bulan

-        Anggaran: Rp 1,2 miliar dari dana insentif daerah

-        Output: Peta jalan (roadmap) peningkatan IPK 2025-2029

2.     Penyusunan Perda Pemajuan Kebudayaan

-        Menyusun Rancangan Perda tentang Pemajuan Kebudayaan yang memuat:

-        Kewajiban integrasi IPK dalam dokumen perencanaan daerah

-        Peningkatan alokasi APBD secara bertahap minimal 1% per tahun hingga mencapai 5% pada tahun kelima

-        Pembentukan Dewan Kebudayaan Daerah

Rekomendasi Operasional:

1.     Penguatan Kapasitas SDM

-        Bappelitbangda menyelenggarakan pelatihan teknis penghitungan IPK untuk 30 staf perangkat daerah

-        Anggaran: Rp 100 juta

-        Mitra: Universitas Hasanuddin (UNHAS) untuk pendampingan metodologi

2.     Program Prioritas Jangka Pendek

-        Digitalisasi 150 naskah lontara dalam 5 tahun

-        Pengembangan klaster ekonomi kreatif tenun sutra

-        Integrasi muatan lokal budaya dalam kurikulum pendidikan

3.     Sistem Monitoring Terpadu

-        Pengembangan dashboard IPK terintegrasi dengan SIPD

-        Evaluasi triwulanan oleh tim ahli independen

3.    Dampak yang Diharapkan

Implementasi rekomendasi ini diharapkan dapat menghasilkan:

1.     Jangka Pendek (2025-2026): Tersedianya baseline IPK dan target RPJMD 2025-2029

2.     Jangka Menengah (2027-2029): Peningkatan IPK dari 50,0 menjadi 58,0 dan kontribusi sektor budaya terhadap PDB dari 1,3% menjadi 2,5%

3.     Jangka Panjang (2030+): Wajo menjadi model cultural-based development nasional

Dengan implementasi yang konsisten dan berkelanjutan, integrasi IPK akan mentransformasi pembangunan Wajo dari pendekatan konvensional menuju model pembangunan yang berbasis budaya, inklusif, dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

1.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan

2.     Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Pemajuan Kebudayaan

3.     RPJPD Sulsel 2025-2045

4.     Dokumen Rancangan RPJMD Wajo 2025-2029

Tidak ada komentar:

Posting Komentar