Integrasi
Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) dalam
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Wajo
Abd. Rachim
Analis Cagar Budaya dan Koleksi Museum – Disdikbud Wajo
ABSTRAK
Integrasi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dalam
perencanaan pembangunan daerah merupakan strategi kunci untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan berbasis budaya di Kabupaten Wajo. Penelitian ini
menganalisis peluang dan tantangan integrasi IPK ke dalam RPJMD 2025-2029
melalui pendekatan kualitatif dengan studi literatur, analisis dokumen, dan
pembelajaran dari best practices. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Wajo
memiliki potensi budaya lokal seperti tenun sutra, Festival Danau Tempe, dan
naskah lontara yang dapat mendukung pencapaian 7 dimensi IPK. Namun, tantangan
utama meliputi ketiadaan data baseline IPK, kapasitas kelembagaan terbatas di
Disdikbud dan Bappelitbangda, serta belum adanya Perda Pemajuan Kebudayaan
yang secara spesifik mengamanatkan integrasi IPK. Penelitian merekomendasikan:
(1) penghitungan baseline IPK dalam 6 bulan; (2) penyusunan Perda pemajuan
kebudayaan yang memuat kewajiban integrasi IPK; (3) pelatihan teknis untuk
perangkat daerah; (4) integrasi program prioritas berbasis IPK dalam RPJMD.
Implementasi rekomendasi ini diharapkan dapat meningkatkan IPK Wajo dari 50,0
menjadi 58,0 pada 2029 serta kontribusi sektor budaya terhadap PDB dari 1,3%
menjadi 2,5%.
Kata Kunci: Indeks Pembangunan Kebudayaan,
Perencanaan Daerah, Pembangunan Berkelanjutan, Kabupaten Wajo, RPJMD.
ABSTRACT
The integration of the Cultural Development Index (IPK)
into regional development planning is a key strategy for achieving sustainable
culture-based development in Wajo Regency. This study analyzes opportunities
and challenges of integrating IPK into the 2025-2029 Regional Medium-Term
Development Plan (RPJMD) through qualitative approaches including literature
study, document analysis, and best practices learning. The results show that
Wajo has local cultural potentials such as silk weaving, Lake Tempe Festival,
and lontara manuscripts that can support the achievement of IPK's 7 dimensions.
However, main challenges include the absence of IPK baseline data, limited
institutional capacity in the Education and Culture Office (Disdikbud) and
Regional Development Planning Agency (Bappelitbangda), and the lack of a
specific Cultural Advancement Regional Regulation that mandates IPK
integration. The study recommends: (1) conducting IPK baseline assessment
within 6 months; (2) formulating a Cultural Advancement Regional Regulation
that mandates IPK integration; (3) technical training for local government
staff; (4) integration of IPK-based priority programs into RPJMD.
Implementation of these recommendations is expected to increase Wajo's IPK from
50.0 to 58.0 by 2029 and cultural sector's contribution to GDP from 1.3% to
2.5%.
Keywords:
Cultural Development Index, Regional Planning, Sustainable Development, Wajo
Regency, RPJMD.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) merupakan instrumen
pemajuan kebudayaan pertama di dunia yang diluncurkan Indonesia pada tahun
2019. Berdasarkan Permendikbud No. 14 Tahun 2020, IPK mengukur capaian
pembangunan kebudayaan melalui 7 dimensi: Pendidikan, Warisan Budaya, Ekonomi
Budaya, Budaya Literasi, Ketahanan Sosial Budaya, Ekspresi Budaya, dan
Kesetaraan Gender dalam Kebudayaan. Sebagai alat ukur berbasis data, IPK
dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan nasional termasuk dalam RPJMN
2020-2024.
Di Kabupaten Wajo, integrasi IPK dalam perencanaan
pembangunan menghadapi tantangan signifikan mengingat data IPK spesifik belum
tersedia secara publik. Padahal, pembangunan kebudayaan merupakan modal dasar
untuk mewujudkan visi "Wajo Maradeka" yang maju, religius, dan
berkeadilan. Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya kapasitas kelembagaan
dimana leading sector kebudayaan berada di bawah Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, serta belum adanya regulasi khusus yang mengatur pemajuan
kebudayaan.
2.
Tujuan dan Metodologi
Makalah ini bertujuan:
1.
Menganalisis peluang integrasi IPK dalam
perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Wajo
2.
Merumuskan strategi operasionalisasi IPK dalam
dokumen perencanaan RPJMD 2025-2029
Makalah disusun menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif
melalui:
1.
Studi literatur terhadap kebijakan nasional dan
dokumen perencanaan daerah
2.
Analisis dokumen RPJPD Sulsel 2025-2045 dan
rancangan RPJMD Wajo
3.
Best practices penerapan IPK dari daerah lain di
Indonesia
Teknik pengumpulan data menggunakan purposive sampling
terhadap dokumen perencanaan dan kebijakan terkait pembangunan kebudayaan di
tingkat nasional dan daerah.
TINJAUAN TEORITIS DAN KERANGKA KEBIJAKAN
1.
Konsep Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK)
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) merupakan instrumen
pengukuran pertama di dunia yang secara komprehensif menilai kemajuan
kebudayaan suatu wilayah. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Pemajuan Kebudayaan, IPK
mengintegrasikan 7 dimensi pembangunan kebudayaan yang mencakup 31 indikator
terukur. IPK dirancang melalui proses metodologis yang ketat untuk memastikan
validitas dan reliabilitas pengukurannya.
Nilai IPK nasional tahun 2018 sebesar 53,74 (skala 0-100)
menunjukkan capaian yang masih dalam kategori sedang. Analisis per dimensi
mengungkap variasi pencapaian yang signifikan, dengan dimensi Ekspresi Budaya
mencatat nilai tertinggi (75,60) sementara Ekonomi Budaya menjadi dimensi
dengan nilai terendah (30,55). Data ini mengonfirmasi bahwa aspek ekonomi
berbasis budaya masih menjadi tantangan terbesar dalam pembangunan kebudayaan
nasional. Beberapa dimensi kunci yang relevan untuk Kabupaten Wajo meliputi
dimensi Ekonomi Budaya dengan indikator kontribusi PDB sektor budaya dan jumlah
pelaku ekonomi kreatif yang dapat diaplikasikan melalui pengembangan tenun
sutra dan pariwisata budaya. Dimensi Warisan Budaya dengan fokus pada
perlindungan cagar budaya dan naskah kuno sangat relevan dengan upaya
digitalisasi lontara dan pelestarian situs budaya di Wajo. Sementara itu,
dimensi Ekspresi Budaya melalui indikator festival budaya dan ruang ekspresi
dapat diwujudkan melalui pengembangan Festival Danau Tempe dan sanggar seni.
2.
Dasar Hukum dan Relevansi bagi Daerah
Kerangka hukum pengembangan IPK didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, khususnya Pasal
10 yang menegaskan kewajiban integrasi kebudayaan dalam perencanaan
pembangunan. Ketentuan ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Pemajuan Kebudayaan yang
menjabarkan teknis pengukuran IPK. Dalam konteks perencanaan nasional, IPK
telah diadopsi sebagai salah satu indikator dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan akan terus menjadi indikator penting
dalam RPJMN 2025-2029.
Bagi Kabupaten Wajo, integrasi IPK memiliki relevansi
strategis yang multidimensi. Pertama, adanya kesesuaian dengan Visi "Wajo
Maradeka" yang berorientasi pada pembangunan berbasis kearifan lokal
sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Kedua, ketiadaan data
IPK selama ini telah menghambat perencanaan berbasis bukti untuk program
kebudayaan di daerah. Ketiga, integrasi IPK dapat membuka akses terhadap
berbagai skema pendanaan termasuk dana insentif daerah dan program matching
fund Kemendikbud. Selain itu, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
Provinsi Sulawesi Selatan 2025-2045 yang memprioritaskan pembangunan kebudayaan
menuntut adanya sinkronisasi dengan rencana pembangunan di tingkat provinsi.
Berdasarkan analisis kerangka hukum dan konseptual tersebut,
terlihat bahwa integrasi IPK dalam perencanaan pembangunan Wajo bukan hanya
sebuah keharusan hukum tetapi juga kebutuhan strategis untuk mencapai
pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis budaya. Implementasi IPK akan
memperkuat posisi kebudayaan sebagai fondasi pembangunan dan memberikan arahan
yang jelas dalam pencapaian target pembangunan daerah.
ANALISIS INTEGRASI IPK DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN WAJO
1.
Kapasitas Kelembagaan dan Regulasi Daerah
Integrasi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dalam
perencanaan pembangunan Kabupaten Wajo menghadapi dinamika kelembagaan dan
regulasi yang kompleks. Berdasarkan analisis dokumen dan kondisi aktual,
terdapat beberapa peluang strategis yang dapat dimanfaatkan. Proses penyusunan
RPJMD Wajo 2025-2029 yang sedang dalam finalisasi melalui Musrenbang menjadi
momentum kritis untuk memasukkan indikator IPK sebagai acuan pembangunan.
Dokumen perencanaan ini dapat mengadopsi model "Budaya sebagai Arsitektur
Pembangunan" dengan target peningkatan IPK yang terukur. Selain itu,
Kompetisi Inovasi Daerah 2025 dapat dialihfungsikan sebagai katalis inovasi
berbasis budaya, dengan mengalokasikan sebagian anggaran untuk program-program
yang secara langsung mendongkrak capaian IPK.
Namun, beberapa tantangan kelembagaan signifikan perlu
diatasi. Wajo belum memiliki Peraturan Daerah khusus tentang Pemajuan
Kebudayaan, berbanding terbalik dengan daerah lain yang telah memiliki payung
hukum kuat untuk pembangunan kebudayaan. Kondisi ini berimplikasi pada alokasi
APBD untuk kebudayaan yang hanya mencapai 2,1% pada tahun 2023, jauh di bawah
rekomendasi UNESCO sebesar 5%. Koordinasi yang masih fragmentatif antara
Bappelitbangda, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta dinas terkait lainnya juga
menjadi kendala dalam perumusan program kebudayaan yang terintegrasi. Kapasitas
SDM yang terbatas, dimana hanya 12% staf Disdikbud yang terlatih dalam
metodologi IPK, semakin memperumit upaya integrasi ini.
2.
Potensi dan Tantangan Berbasis Data
Kabupaten Wajo memiliki potensi budaya lokal yang signifikan
untuk mendongkrak capaian IPK. Pada dimensi Ekspresi Budaya, tradisi lokal dan
Festival Danau Tempe dapat dikembangkan sebagai soft power budaya yang
berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 15% melalui
pariwisata budaya. Tenun Sutra Wajo yang telah diakui sebagai Warisan Budaya
Takbenda pada tahun 2022 memberikan peluang besar untuk pengembangan dimensi
Ekonomi Budaya melalui skema cluster-based development untuk pengrajin sutra
dan sertifikasi indikasi geografis untuk meningkatkan nilai jual. Visi
"Wajo Maradeka" yang menekankan pembangunan inklusif dan berkeadilan
juga sejalan dengan dimensi Ketahanan Sosial Budaya dan Kesetaraan Gender dalam
IPK.
Namun, tantangan berbasis data cukup menghambat optimalisasi
potensi tersebut. Ketidaktersediaan data IPK tingkat kabupaten mengakibatkan
kebijakan kultural yang bersifat reaktif dan tidak berbasis evidence. Rendahnya
dimensi Ekonomi Budaya yang hanya mencapai 30,55 secara nasional menjadi
perhatian khusus, mengingat hanya 22% pengrajin tenun yang terdaftar sebagai
pelaku usaha formal dan kontribusi sektor budaya terhadap PDB Wajo yang masih
berada pada angka 1,3% pada tahun 2023. Kesenjangan kapasitas kelembagaan juga
terlihat ketika membandingkan dengan best practice daerah lain, dimana alokasi
APBD kebudayaan Wajo hanya 2,1% sementara Denpasar mencapai 6,5%, demikian pula
dengan persentase SDM terlatih IPK yang jauh lebih rendah dibandingkan daerah
percontohan.
Berdasarkan analisis tersebut, integrasi IPK dalam
perencanaan pembangunan Wajo membutuhkan pendekatan komprehensif yang mencakup
penguatan kelembagaan, penyediaan data yang memadai, dan pemanfaatan potensi
budaya lokal secara optimal. Dengan memanfaatkan momentum penyusunan RPJMD
2025-2029, Wajo memiliki peluang untuk menjadi pelopor integrasi IPK di tingkat
kabupaten dan mencapai pembangunan yang benar-benar berbasis kebudayaan.
STRATEGI INTEGRASI IPK DALAM RPJMD WAJO 2025-2029
1.
Langkah Operasional
Integrasi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) ke dalam RPJMD
Wajo 2025-2029 memerlukan langkah-langkah operasional yang sistematis dan
realistis. Pertama, dalam hal pemetaan data dan baseline study, perlu dibentuk
tim teknis IPK yang terdiri atas Bappelitbangda sebagai koordinator, Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pelaksana teknis, serta BPS Kabupaten dan
akademisi lokal sebagai pendukung metodologis. Tim ini akan melakukan
penghitungan baseline IPK dengan melibatkan masyarakat melalui Focus Group Discussion
(FGD) partisipatif yang melibatkan 45 peserta dari unsur komunitas adat, pelaku
ekonomi kreatif, akademisi, dan perangkat daerah.
Kedua, integrasi ke dalam dokumen perencanaan dilakukan
melalui penetapan target peningkatan IPK dari asumsi baseline 50,0 menjadi 58,0
pada akhir periode RPJMD 2029. Target ini dijabarkan dalam program spesifik
untuk setiap dimensi IPK, antara lain: (1) Dimensi Ekonomi Budaya melalui
pengembangan klaster ekonomi kreatif tenun sutra Wajo; (2) Dimensi Pendidikan
melalui integrasi muatan lokal budaya dalam kurikulum sekolah; (3) Dimensi
Warisan Budaya melalui digitalisasi 150 naskah lontara dalam lima tahun; serta
(4) Dimensi Kesetaraan Gender melalui program pemberdayaan perempuan pengrajin
tenun.
Ketiga, penguatan kelembagaan dilakukan dengan menyusun
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengamanatkan
peningkatan alokasi APBD secara bertahap minimal 1% per tahun hingga mencapai
5% pada tahun kelima. Pembentukan Kelompok Kerja IPK di bawah koordinasi
Bappelitbangda diperlukan untuk memastikan koordinasi yang efektif antara Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata, Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, serta dinas terkait lainnya.
2.
Skema Pendanaan dan Monitoring
Skema pendanaan untuk implementasi IPK mengombinasikan
sumber APBD dan dana eksternal. Dari sisi APBD, dialokasikan anggaran sebesar
Rp 1 miliar per tahun yang didistribusikan untuk program prioritas berbasis
IPK. Skema Kompetisi Inovasi Daerah 2025 dialokasikan sebagaian dananya untuk
inisiatif masyarakat yang berkontribusi pada peningkatan IPK, dengan kriteria
penilaian berbasis dampak pada dimensi-dimensi IPK.
Sistem monitoring dibangun melalui pengembangan dashboard
IPK yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD).
Dashboard ini memungkinkan pemantauan capaian indikator IPK secara berkala.
Evaluasi triwulanan dilakukan oleh tim ahli independen yang terdiri dari
akademisi, perwakilan komunitas budaya, dan fasilitator dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Implementasi strategi ini didukung oleh rencana aksi
immediate pada tahun 2025, meliputi: (1) pelatihan metodologi IPK untuk 30 staf
perangkat daerah dengan anggaran Rp 100 juta; (2) penandatanganan nota
kesepahaman dengan Universitas Hasanuddin (UNHAS) untuk pendampingan penyusunan
Perda Kebudayaan; dan (3) proyek percontohan digitalisasi naskah lontara dengan
anggaran yang disesuaikan.
PENUTUP DAN REKOMENDASI
1.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis komprehensif yang telah dilakukan,
integrasi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dalam perencanaan pembangunan
Kabupaten Wajo merupakan sebuah keharusan strategis untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berbasis budaya. Beberapa temuan kunci yang
menjadi landasan kesimpulan ini adalah:
Pertama, dari aspek regulasi, Wajo memiliki dasar hukum yang
kuat melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks
Pemajuan Kebudayaan, yang mewajibkan integrasi kebudayaan dalam perencanaan
pembangunan. Kedua, secara operasional, proses penyusunan RPJMD 2025-2029 yang
sedang berlangsung memberikan momentum tepat untuk mengadopsi IPK sebagai alat
ukur pembangunan budaya. Ketiga, potensi budaya lokal seperti tenun sutra Wajo,
Festival Danau Tempe, dan naskah lontara memberikan dasar substantif yang kuat
untuk pengembangan seluruh dimensi IPK.
Namun, tantangan signifikan masih dihadapi, terutama terkait
kapasitas kelembagaan dimana leading sector kebudayaan berada di bawah Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan, serta belum adanya Perda khusus yang mengatur
pemajuan kebudayaan. Ketiadaan data baseline IPK juga menjadi kendala utama
dalam perencanaan berbasis evidence.
Dengan memanfaatkan momen penyusunan RPJMD 2025-2029 dan
didukung oleh komitmen politik yang kuat, Wajo berpotensi menjadi pelopor
integrasi IPK di tingkat kabupaten dan model percontohan bagi daerah lainnya di
Indonesia.
2.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut rekomendasi yang
dapat diimplementasikan:
Rekomendasi Kebijakan:
1.
Penghitungan Baseline IPK Segera
-
Pemerintah Kabupaten Wajo melalui Bappelitbangda
dan Disdikbud perlu segera membentuk tim teknis untuk penghitungan baseline IPK
dalam waktu 6 bulan
-
Anggaran: Rp 1,2 miliar dari dana insentif
daerah
-
Output: Peta jalan (roadmap) peningkatan IPK
2025-2029
2.
Penyusunan Perda Pemajuan Kebudayaan
-
Menyusun Rancangan Perda tentang Pemajuan
Kebudayaan yang memuat:
-
Kewajiban integrasi IPK dalam dokumen
perencanaan daerah
-
Peningkatan alokasi APBD secara bertahap minimal
1% per tahun hingga mencapai 5% pada tahun kelima
-
Pembentukan Dewan Kebudayaan Daerah
Rekomendasi Operasional:
1.
Penguatan Kapasitas SDM
-
Bappelitbangda menyelenggarakan pelatihan teknis
penghitungan IPK untuk 30 staf perangkat daerah
-
Anggaran: Rp 100 juta
-
Mitra: Universitas Hasanuddin (UNHAS) untuk
pendampingan metodologi
2.
Program Prioritas Jangka Pendek
-
Digitalisasi 150 naskah lontara dalam 5 tahun
-
Pengembangan klaster ekonomi kreatif tenun sutra
-
Integrasi muatan lokal budaya dalam kurikulum
pendidikan
3.
Sistem Monitoring Terpadu
-
Pengembangan dashboard IPK terintegrasi dengan
SIPD
-
Evaluasi triwulanan oleh tim ahli independen
3.
Dampak yang Diharapkan
Implementasi rekomendasi ini diharapkan dapat menghasilkan:
1.
Jangka Pendek (2025-2026): Tersedianya baseline
IPK dan target RPJMD 2025-2029
2.
Jangka Menengah (2027-2029): Peningkatan IPK
dari 50,0 menjadi 58,0 dan kontribusi sektor budaya terhadap PDB dari 1,3%
menjadi 2,5%
3.
Jangka Panjang (2030+): Wajo menjadi model
cultural-based development nasional
Dengan implementasi yang konsisten dan berkelanjutan,
integrasi IPK akan mentransformasi pembangunan Wajo dari pendekatan
konvensional menuju model pembangunan yang berbasis budaya, inklusif, dan
berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan
2.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Pemajuan Kebudayaan
3.
RPJPD Sulsel 2025-2045
4.
Dokumen Rancangan RPJMD Wajo 2025-2029
Tidak ada komentar:
Posting Komentar